Indonesiaku, multikultural katanya.
Kaya akan budaya, bahasa, adat, dan
agamanya.
Penduduknya percaya sekali dengan
surga dan neraka.
Namun, kadang yang kulihat bukan
ibadat mereka.
Tapi saling berperang tentang surga siapa.
“Itu
dongeng kan, Kak. Bukan nyata?”, tanya mereka.
Pada mana aku tak takjub, kalau mereka yang hidup dalam kesederhanaan bisa sedalam amat memegang teguh toleransinya. Harus dengan cara apa lagi aku mengagumi, sekelompok penduduk yang menamai diri mereka Suku Tengger, dengan pipi merah, mata coklat bening, dan alis tebal yang khas. Dikurung dinginnya udara dari pagi sampai malam hari pun, namun mampu hidup dalam dalam hangatnya toleransi dan tenggangrasa yang begitu dijunjung tinggi. Merekalah penduduk, petani, pengojek pupuk, pengepul kentang, pemandu wisata, penjual edelweis dari desa sebuah tertinggi di pulau Jawa, Ngadas.
Sudah satu tahun ini, aku mengenal
desa ini. Tepat 8 November, tahun lalu, aku bersama teman-teman dari gerakan
UMengajar menginjakkan kaki pertama kali di tempat ini. Aku masih ingat, satu
rombongan kami sampai di tempat ini sudah menjelang isya, sehabis hujan.
Dingin, sudah pasti. Terlihat beberapa anak berbaris di teras tempat kami akan
menginap malam itu. Sungguh, itu sambutan terhangat dari anak-anak yang pernah
kutahu. Aku pun terusik penasaran, akan nama mereka, dan mengapa sengaja
berdiri di tempat itu. Jawabnya sungguhlah haru, mereka menunggu para kakak
yang esok hari akan menemani mereka belajar dan bermain.
Malam menjelang, heater-heater kami
sudah terisi air dan dinyalakan, untuk sekedar mengisi dan menghangatkan perut
sambil demo pembelajaran untuk esok hari. Larut dalam tawa diiringi dengan
kremesan mie instan goreng yang masih mentah lengkap dengan bumbunya untuk
santapan ternikmat ala-ala anak survival kekinian. Larut malam Ngadas pun,
sanggup membuat kami bertahan tidur beralaskan lantai dengan suhu yang bisa
dikatakan ‘dingin keterlaluan’. Dan aku merasa beruntung, bahwa dalam melakukan
hal-hal romantis di tempat yang romantis itu, aku tidak sendiran.
Orang-orang Tengger |
Mungkin tidak berlebihan jika suatu
hari, aku ingin meletakkan gambar Desa Ngadas, orang-orang Tengger lengkap
dengan sarung-sarung untuk menghangatkan badan mereka, dan ladang-ladang
kentang yang membentang di dalam rumahku kelak. Entah berlebihan atau kurang,
jika cita-citaku mengenalkan Ngadas pada orang-orang di luar sana atau sekedar
meyakinkan banyak orang tentang eksistensi ciptaan Tuhan di tanah yang berada
di ketinggian 2200 di atas permukaan air laut Malang. Atau bisa saja, mereka
yang masih sering membeda-bedakan, radikal, apatis, bahkan intolerant sebentar
saja ditolehkan kepalanya, sekedar melihat dan belajar bagaimana 2000 orang di
desa itu hidup dalam keharmonisan.
Siswa Ngadas |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar