Saat aku menghitung-hitung kegagalanku
sendiri, aku kehilangan arahku untuk mengumpulkan pecahan motivasi. Jalanku
terasa buntu saat aku hanya diam mengutuki kelemahanku. Sejuta keinginan yang
kupenuhi dengan keraguan itu mondar-mandir di kelopak mataku. Siapa yang
menyangka, lulus menjadi sarjana ternyata justeru waktu itu ku sebut jadi beban
baru, hidup penuh dengan tuntutan ini itu, menikah, memiliki pekerjaan yang
layak, membiayai hidup sendiri, seakan menjadi tolok ukur hidup yang
berembel-embel sarjana kini. Saat beberapa keberanianku terkumpul, aku mencoba
lemparkan lamaranku di sana-sini. Berharap nasib baik menghampiri. Namun,
justeru pekerjaan yang kini ku dapat dan ku geluti bukan yang dengan bayangkan
selama ini.
Setelah aku berkeluh soal ini itu, seorang
teman baik menawarkan pekerjaan, mengajar di sekolah dasar, mendengar tawaran itu, aku ragu-ragu, “Mampukah aku?” Tidak
buru-buru iya ku. Hari pertama mengajar pun masih terasa begitu berat untukku,
suara harus selantang adzan dan fisik harus mau berkejar-kejaran. Hari kedua
dan ketiga mengajar di sekolah rasanya begitu berat, selain jarak tempuh yang
jauh, stamina sudah ku kuras keras-keras pada hari sebelumnya. Hari keempat,
suhu tubuhku sedikit naik, tenggorokan gatal, dan punggung terasa nyeri. Aku
sungguh takut deman tiba-tiba dan tak bisa bekerja lagi hari ini. Aku putuskan
membeli madu*asa dan anta*gin untuk memulihkan tenaga beberapa lagi. Hari ini
aku mengajar di kelas baru, belum pernah kuajar sebelumnya, seorang anak
mencuri perhatianku. Ia duduk sendirian di bangku siswa yang seharusnya berisi
dua siswa itu. Aku masih melanjutkan pelajaranku, karena kelas sudah mulai
gaduh meminta permainan ini itu. Tiba-tiba seorang siswaku maju menghampiriku
dan dan menunjuk-nunjuk siswa yang kuperhatikan sejak tadi itu, ia mengadukan
kepadaku siswa itu memukulinya. Aku pun memutuskan untuk menghampiri. Aku sama
sekali masih memperhatikan ciri khusus yang dibawa anak itu. Seorang siswa lagi
melontarkan kata yang cukup membuat saya pilu, “Bu, dia emang sering gitu, dia
itu anak autis, dia anak inklusi.” Terbelalaklah aku, Tuhan, aku tak siap
dengan ini. Ku kira pendidikan inklusi juga harus dilakukan oleh guru-guru yang
eksklusif, bukan pembelajar seperti aku. Setelah jam pelajaran usai, wali kelas dari kelas yang baru ku ajar menghampiri, sembari menceritakab banyak hal dan memberi motivasi; sepulang itu aku putuskan membaca beberapa ulasan dan mengunduh vudeo tentang pendidikan inklusi. Jika saja aku memutuskan berhenti kemarin, mungkin aku tak perbah belajar dan tak sebersyukur ini.
Saat aku mengilas
balikkan segala yang kudapat hari ini dengan setiap kegagalan yang aku tangisi,
rasanya aku menjadi manusia paling bersalah di muka bumi. Kusimpulkan, hidup
penuh dengan kesempatan kedua, meskipun bukan aku lagi yang menjadi pemeran
utama. Tapi biarlah aku menjadikan kegagalan hidupku yang menjadikan keinginanku untuk memenangkan kehidupan
orang lain. Mengantarkan mereka setidaknya menuju titik dimana harapan mereka
untuk menang dalam setiap kehidupan begitu terang bederang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar