Bismilahirrahmaanirrahiim.
Artikel ini lahir dari pertanyaan menarik salah seorang
teman baik kepada saya. Setelah beliau menyelesaikan masa studinya dengan
menempuh ujian skripsi, ia menayakan kepada saya, “Riana.. Selain untuk formalitas dan eksistensi dosen, apa guna sidang
skripsi?” Saya pun terengah dengan pertanyaan demikian. Saya juga sempat
mengiyakan pendapat ini, fikir saya, kalau hanya untuk sekedar mengukur
kemampuan mahasiswa, ilmu apa saja yang sudah dikuasai, buku apa yang sudah
pernah dibaca, atau sekedar menilai sebaik apa skirpsi yang telah disusun,
rasanya tidak perlu menggunakan formalitas sidang. Hal-hal tersebut cukup
dilakukan dengan membuat ujian tulis atau mengoreksi isi skirpsi. Titik. Setelah
berfikir panjang, saya hanya mendapat satu jawaban. Menurut pendapat pribadi
saya yang belum mengalami sidang skripsi, tujuan dari skirpsi itu adalah
sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban. Sebagai kaum akademisi, skripsi
menjadi maktab penting akan lahirnya
ide-ide baru nan segar lagi orisinil. Kemudian ide ini dituangkan dalam bentuk
literasi dan di akhir cerita dipresentasikan sebagai bentuk tanggungjawab
keorisinilan ide tersebut, pun untuk mengukur sejauh mana kita sudah menguasai
isinya.
Percakapan lewat pesan singkat itu pun saya teruskan
dengan berbalik tanya kepada teman saya soal bagaimana tanggapan untuk pendapat
saya barusan. Beliau mengatakan bahwa memang seharusnya seperti itu secara
ideal, namun kenyataan di lapangan nampak berbeda. Menurut pengalaman yang
beliau dapat, dosen lebih cenderung ‘mematahkan’ mahasiswa. Sebagai pribadi
yang memang belum berpengalaman, saya hanya mencoba melihat dari sisi baiknya
saja. Bahwa mungkin kata ganti terbaiknya bukan mematahkan, namun membentuk mahasiswa
yang mampu berfikir kritis. Building a
critical thinking. Ya, sekali lagi saya mengambil alibi bahwa kita adalah
kaum akademisi.
Dalam waktu kurang dari satu bulan ini, saya banyak
berbincang mengenai ujian skrispi dengan teman-teman senior, ada yang mengaku
belum siap melanjutakn pendidikan ke jenjang S2 sebab ada rasa trauma saat
menjalani ujian skripsinya. Ada rasa ‘kapok’ tertanam kuat dibenak kawan saya
itu sesaat setelah keluar dari ruang sidang yang diuji oleh dosen yang killer, katanya. Kedua, saat saya
menunggui senior saya yang lain ujian, senior saya tersebut tidak mampu
menutupi dirinya yang gugup dan sedikir menggigil. Hal ini pun cukup mampu
membuat saya kecil nyali. Sidang skripsi yang harusnya menjadi tonggak ueforia
kegembiraan, justeru menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa.
Sumber: http://norma07dp.files.wordpress.com/2012/08/skripsi.jpg
Tapi ada ilmu datang di pagi hari setelah terjadinya
percakapan itu, saya membaca pesan di grup WhatsApp komunitas pendidikan yang
saya ikuti. Isi pesan itu sebenarnya sudah pernah saya baca di situs Facebook
sekitar 5 bulan yang lalu. Tapi saya sedikit lupa dan hanya mengingat intinya
saja. Pesan itu ditulis oleh orang kenaamaan, Bapak Renald Kasali.
Kisah pertama sebagai pembuka dari cerita ini adalah
pengalama orang tua yang baru saja pindah ke Amerika dan menyekolahkan anaknya.
Di sekolah, anak tersebut diminta untuk membuat karya tulis. Bapak dari anak
tersebut merasa khawatir akan tulisan dalam bahasa Inggris yang dibuat oleh
anaknya. Namun sekembalinya dari sekolah, sang anak malah mendapat nilai E yang
berari Excellent. Karena merasa
janggal, beliau mengajukan protes kepada guru yang memberikan nilai bagus pada
anaknya.
Meskipun isinya cukup menampar saya, namun banyak makna
baik yang ada dalam pesan tersebut. Nilai-nilai yang ingin saya kaitkan dengan
hasil percakapan saya dengan teman tadi cukup gamblang di jelaskan pada artikel
inspiratif tersebut, diantaranya;
1.
Budaya menghukum.
Menurut sang penulis artikel, perbadaan antara pendidikan
di Indonesia dan di negeri Paman Sam ini adalah budayanya. Ada nilai filosofi
yang kadang dilupakan seorang pendidik di Indonesia. Bahwa mendidik adalah
budaya “Encouragement”, budaya
mendorong untuk maju. Penulis pun mengalami dua perbedaan yang mencolok bahwa
ketika beliau belajar di Indonesia, sangat sulit untuk lulus ujian, sedangkan
di Amerika nilainya justeru bergelimang ‘A’. Benang merah dari pengalaman
pembuka tadi adalah, kita tidak bijak jika mengukur kemampuan anak anak kita
dan prestasi orang lain dengan ukuran milik kita.
Budaya kedua yang ditampilkan dalam artikel ini cukup
menarik, pertanyaan sidang di antara dua negara ini memang secara essensial
sama seriusnya. Namun di Amerika, suasananya cenderung bersahabat. “Ujian penuh dengan puja-puji...” kata
Bapak Redald dalam artikelnya. Sedang di tanah air, para penguji justeru
kebanyakan saling “menelan” mahasiswa yang sedang duduk di bangku ujian.
Walhasil, orang yang pernah duduk tertekan dibangku ujian itupun belakang juga
menguji dengan cara menekan. Sebab ada semcam balas dendam dan kecurigaan.
2.
Budaya Melahirkan Kehebatan.
Ada pertanyaan nyelekit yang diajukan sang penulis
disini, berbunyi “Bisakah kita mencetak
orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan?” Benar saja, dari pengalaman
pribadi saya, saya yang saat itu masih belajar di sekolah menengah, mendapat
nilai buruk dalam semua mata pelajaran eksak. Matematika saya jeblok. Total.
Sejak awal kelas 1, saya sering gagal dalam ujian matematika. Selain karena
tidak pandai berhitung, saya tidak tahu apa sebenarnya esensi dari belajar
matematika yang hanya menampilkan variabel-variabel? Pembelajaran hanya
bersifat metematis tanpa mengedapankan nilai filosofis. Hingga saat menghadapi try-out ujian nasional kelas IX, nilai
‘jemplang’ saya dapatkan yaitu nilai matematika saya hanya ‘4,25’ sedangkan
saya mendapat nilai 8 untuk bahasa Indonesia dan 9.5 untuk bahasa Inggris. Saya
sempat menangis karena takut gagal ujian nasional sungguhan. Belakangan saya
merasa memang saya tidak berbakat di bidang hitung-menghitung, dan justeru
cenderung tertarik dalam bidang literasi. Dan kelegowoan ini baru saya dapatkan
setelah tiga tahun kuliah di bidang literatur.
Ketakutan tersebut pernah saya curigai karena kesalahan
orang tau kita dalam mendidik. Saat kita kecil, ketika tidak sengaja menangis
karena tersandung kerikil misalnya, orang tua lebih sering menyalahkan kodok.
Walhasil, kita saat kita sudah bersekolah, kita hanya akan menangisi ‘nilai
merah’ dari pada sibuk memerbaiki kesalahan dan kekurangan diri pribadi.
Akankah ada yeng hebat dan menjadi besar dengan budaya seperti ini? Terlebih,
kita juga tidak asing dengan cara mendidik dengan berbagai ancaman: Awas...;
Kalau...; Nanti...: dan tentu saja kata “Tidak Lulus’ dalam ujian bentuk
apapun. Temuan terbaru tentang efek ancama ternyata berujung mengerikan,
anak-anak yang terlalu sering diancam, volume otaknya akan mengerucut
(mengecil), dan sebaliknya. Maka baiknyalah, mari berhenti menaburkan ancaman
dan ketakutan pada anak-anak kita.
Maksud dan tujuan saya menulis artikel ini bukan saya
mengagung-agungkan budaya barat dan mengesampingkan budaya negeri sendiri.
Secara konsep budaya ketimuran tetap terasa lebih pas untuk dipakai, namun
hanya saja kita kadang masih sering lupa dan melupakan. Mari sama-sama berbenah
dan mari sama-sama mengingtkan. Oh ya, menurut kalian sebaiknya apa tujuan
utama adanya sidang skripsi tersebut? Lantas dosen seperti apa yang patut
menguji skripsi kita? Feel free to comment :):)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar