“Sejarah
adalah dokumen terbaik sebagai referensi dan rujukan belajar.”
Demikian
istilah ini saya temukan setelah mengikuti acara Napak Tilas bersama berbagai
komunitas pemuda-pemuda kreatif di kota Malang. Diantara komunitas-komunitas
yang hadir pada saat itu adalah Encompass Indonesia, YEPE (Tim Pendaki dan
Penjelajah Alam), Teater Komunitas, Profauna, Levitasi, Adaytowalk, Gusdurian
Malang, Universitas Negeri Malang Mengajar (UMengajar), dan Mahasiswa Rantau.
Acara Napak Tilas yang digagas oleh Encompass Indonesia dan YEPE ini mengajak
seluruh lapisan masyarakat untuk menapaki jejak-jejak peninggalan masa lalu
yang ada di kota Malang, terutama dalam bentuk monumen, makam sejarah, bahkan
bioskop. Dilaksanakan tepat pada mometum peringatan Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia yang ke 70 tahun, pada Senin 17 Agustus 2015, acara ini mampu menarik
antusisme berbagai lintas kalangan, mulai dari dosen, mahasiswa, komunitas
fotografi, hingga diliput khusus oleh UB TV, salah satu televisi swasta di kota
Malang.
Rangkaian
acara Napak Tilas di-muqoddimah-i di
Taman Makam Pahlawan Kota Malang, acara diisi dengan mengheningkkan cipta
sebagai simbol penghormatan kepada para pahlawan yang telah gugur di medan
perang. Acara ini juga bertujuan untuk mengingatkan kembali betapa besar
pengorbanan yang telah diberikan para pahlawan untuk Bangsa Indonesia.
Perjalanan napak tilas dilanjutkan ke Monumen Simpang Balapan. Menurut Bapak
Dwi Cahyono, selaku budayawan dan pemateri Napak Tilas ini, monumen tersebut
dahulunya merupakan tempat pacuan kuda atau dalam istilah jawa ‘balapan’, dan kata simpang sebab
letaknya berada tepat di persimpangan. Yang paling menarik dari spot satu ini
adalah fakta bahwa patung yang ada di simpang balapan ini merupakan patung
pemimpin perjuangan rakyat Malang, Jend. Hamid Rusdhi, beliaulah yang
menciptakan bahasa walikan yang kini banyak di kenal dan dipakai sebagai bahasa
pergaulan arek-arek Malang. Menurut penutur sejarah, Bapak Dwi Cahyo, dahulunya
bahasa walikan ini digunakan sebagai sandi saat perang gerilya melawan
penjajah.
Selanjutnya
acara dilanjutkan ke monumen-monumen lain seperti Monumen Bunga Melati di Jalan
Ijen Boulevard, daerah katu tangan, monumen TRIP, monument TGP, monumen Chairil
Anwar, lalu dilanjutkan ke Aloon-aloon Bunder atau yang dewasa ini dikenal
dengan Taman Tugu. Mas Ghulam, selaku penggagas ide acara mengaku bangga kepada
pemuda yang turut hadir dalam acara napak tilas tersebut, “Tidak disangka bahwa akan ada antusisasme yang luar biasa dari semua
pihak, awalnya kami mengira acara ini hanya akan diikuti 5 sampai 6 orang saja,
ternyata peserta mencapai hampir 30 orang.” Ujar Ghulam, saat acara sharing
di Taman Trunojoyo seusai acara.
Nilai
yang terkandung dalam acara Napak Tilas ini juga tercermin dari antusisme
berbagai komunitas yang bergerak dalam bidang yang berbeda-beda. RI 70 yang
diperingati dengan tema ‘Ayo Kerja’, tak lepas dari tujuan digagasnya acara ini
bahwa ‘Ayo Kerja’, juga berarti ‘Ayo belajar, ayo berbenah, ayo berbuat baik,
ayo mencintai Indonesia, dan seterusnya.’ Pemuda yang turut mengisi acara ini
pun mengisi kemerdekaan dengan berbagai cara, contonhnya YEPE yang bergerak
dalam pendakian dan pecinta alam, Encompass yang menggalakkan pendidikan
multikultural, UMengajar yang bergerak dalam bidang pemerataan pendidikan, dan Teater
Komunitas yang bergerak dalam bidang seni, serta masih banyak lagi. Pada
intinya, mengisi kemerdekaan adalah dengan cara apa saja dan melalui media apa
saja selama positif dan bermanfaat bagi bangsa.
Lebih
jauh, kegiatan ini juga diharapkan bermanfaat tidak hanya bagi para pemuda yang
mengikuti kegiatan, namun juga mampu menginspirasi pemuda lain di luar sana
untuk tidak sekedar belajar dari balik jendela. Ayo kerja, ayo belajar, ayo
berbenah. Pemuda adalah aset termahal bangsa. Terimakasih.
Riana
Atik Yustiana,
@yustianaa_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar