Saya secara terbuka mengaku menyesal sudah bergabung
sebagai Pengajar Muda Batch 2 UMengajar. Mengapa tidak sejak generasi pertama
atau bahkan saat awal pendirian? Bukankah berbuat baik haruslah disegerakan?
***
Pada awal tahun akademik memasuki strata junior (re: tahun ketiga), aku yang
sudah dua tahun menimba ilmu pada sebuah prodi pendidikan merasa ada yang
janggal. Aku pernah merasa ‘salah jurusan’ dan ada sesuatu yang kosong dalam
bejana cita-cita. Keinginan kuat menjadi guru, rupanya memang belum diimbangi
oleh pengalaman yang disebut ‘jatuh cinta’. Aku hanya sibuk memenuhi mimpi
orang tua. Selama dua tahun berjalan, semuanya hanya pada kadar dan orbit
sewajarnya saja. Sempat bergumul pada organisasi sana sini. Sibuk dan
menyibukkan diri dan bahkan tergoda untuk turut berpolitik dijenjang fakultas.
Semuanya hanya serupa angin lalu. Tidak ada sesuatu yang bisa dibanggakan.
Belum ada—
Sebagai mahasiswa
yang kadang masih sulit mengisi kantong sendiri, aku sadar, bahwa mahasiswa
bukanlah ia yang kuliah, presentasi, dan pulang mengerjakan tugas semata.
Tetapi mahasiswa adalah ia yang menyandang gelar ‘agent of change’ , sang pembuat perubahan. Dan jauh setelah
kebangkitan nasional sudah berumur lebih dari 100 tahun, agen perubahan seperti
apa yang diimpikan pendiri Negeri ini? Begitu fikirku. Sempat pula terjerembab hedonisme, wajahku dipalingkan Tuhan
pada sebuah romantisme yang lebih hakiki. Romantisme itu bukan sebatas kisah
kasih sejoli, namun lebih kepada rasa cinta pada Negeri. Romantisme antara aku,
UMengajar, dan adik-adikku pada suatu tanah penuh doa: Ngadas. Tempat yang
berada sekitar 40 KM dari pusat kota dan 2200 mdpl. Tempat ini kusebut Tanah
penuh Doa, sebab disini kamu bisa merasakan sakralnya hubungan Hindu, Budha,
dan Islam yang hidup saling mengasihi berdampingan.
Tepatnya, pada tanggal 9 Nopember 2014, aku benar-benar
di-jatuh cintakan pada sebuah profesi mulia yang katanya ketinggalan jaman itu,
tepat saat aku berdiri di hadapan murid-muridku kelas VI SDN Ngadas 1. Setelah
lolos tahapan seleksi UMengajar dan dilantik menjadi Pengajar Muda Batch 2
UMengajar, aku yang tergabung dalam tim kuning, kloter kedua, begitu antusias
dan kompak menyiapkan media pembelajaran berupa flash cards dari kardus bekas,
menempuh perjalanan jauh, menanjak, tak beraspal, dingin, dan ekstrem. Kami tidur
dilantai meski suhu entah sudah minus
berapa. Makan bersama rekan pengabdian dengan lauk seadanya bersama-sama. Lalu
belajar bersama para murid mungil yang berpipi merah dan mata mereka yang
coklat, disana, di suatu sekolah di atas awan: Ngadas. Bukankah itu romantis
sekali?
Sore hari pengabdian, aku dan beberapa rekan dari Tim
Kuning diberi tugas tambahan untuk mengajar dan melatih murid SMP 1 Atap Ngadas
untuk upacara Hari Pahlawan esok lusa. Beberapa teman melatih pasukan pengibar
bendera, sedang aku diberi tugas melatih tim paduan suara. Saat itu aku sempat
percaya bahwa mereka pasti sudah hafal lagu-lagu nasional. Dugaanku meleset.
Saat aku meminta mereka menyanyikan Indonesia Raya dan kuiringi gerakan tangan,
tak ada satu mulutpun tebuka. Diam. Lalu aku berinisiatif menuliskan lirik lagu
Indonesia Raya di papan. Memang, jarang sekali ada upacara di sekolah ini, dan
upacara kali ini diadakan sebab disertai kunjungan Bapak Bupati Malang dalam
rangka tradisi petekan, tradisi suku
tengger untuk mengumpulkan para remaja untuk ‘diperiksa’ keperawanannya. Lagu
kedua yang kuajarkan bernasib tak jauh beda. Saat aku bertanya, “Adakah yang hafal lagu Mengheningkan
Cipta?” Mereka justeru menertawaiku, “Mbak,
nyanyi Cinta Satu Malam mbak.” “Mbak,
nyanyi Sakitnya ‘tu disini aja mbak.” Begitu seterusnya dan mereka saling
meneriaki satu sama lain. Aku hampir menyerah karena tidak sanggup
mengendalikan. Sampai datanglah salah seorang bapak guru mereka dan menegur
mereka. Aku hanya mengingat, jarak tempatku berdiri kala itu hanya 40 KM saja
dari pusat kota, dan mereka bersekolah dalam satu atap, tidak hafal lagu
nasional, upacara benderapun jarang terjadi. Namun, sebagai mahasiswa apakah
cukup hanya dengan berdebat panjang, menulis di akun sosial media, atau merasa
cukup dengan menyalahkan penguasa? Renungkan.
Dan romantisme itu kian tak terbendung, ketika UMengajar
dengan segala visi baiknya menulari antusiasmeku untuk sejenak meninggalkan
kenyamanan, hidup prihatin, dan sedikit berbagi hal sederhana. Pernahkah
membaca, “karena dengan menderita
bersama-sama, justeru akan mendekatkan bebrapa jiwa?” Disinilah kita belajar saling
percaya kepada tim, kepada organisasi, juga kepada diri sendiri. Anggaplah disini adalah hanyalah segerombolan
para pencari nilai kehidupan. Karena ilmu terbaik adalah waktu dan pengalaman.
Aku tidak berniat menuliskan kisah yang ‘membujuk’ siapapun
bergabung bersama kami. Tapi dari sepenggal perjalannkku tadi, aku berharap
kalian tahu bahwa ilmu ikhlas berbagi, jiwa sosial, dan kepribadian diri tidak
dibentuk dalam keadaan diam. Melainkan dengan terjun langsung ke lapangan,
berbincang dengan alam, penduduk, dan tokoh-tokoh rakyat sebagai narasumber
terbaik atas segala permasalahan. Dan dengan ini aku berterus terang, aku jatuh
cinta menjadi seorang guru yang digugu
dan ditiru.
Aku seorang guru, tak ada yang
hebat dalam pekerjaanku, aku tidak membelah laut. Aku tidak berjalan diatas
air. Aku hanya mencintai Anak-anak. (Marve Collins)
Pengajar
Muda Batch 2
UMengajar
Riana Atik
Yustiana
@yustianaa_
Artikel juga dipublish di website umengajar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar