Minggu, 09 Agustus 2015

Ngadas: Romantisme di Tanah Penuh Doa.



            Saya secara terbuka mengaku menyesal sudah bergabung sebagai Pengajar Muda Batch 2 UMengajar. Mengapa tidak sejak generasi pertama atau bahkan saat awal pendirian? Bukankah berbuat baik haruslah disegerakan?
***
            Pada awal tahun akademik memasuki strata junior (re: tahun ketiga), aku yang sudah dua tahun menimba ilmu pada sebuah prodi pendidikan merasa ada yang janggal. Aku pernah merasa ‘salah jurusan’ dan ada sesuatu yang kosong dalam bejana cita-cita. Keinginan kuat menjadi guru, rupanya memang belum diimbangi oleh pengalaman yang disebut ‘jatuh cinta’. Aku hanya sibuk memenuhi mimpi orang tua. Selama dua tahun berjalan, semuanya hanya pada kadar dan orbit sewajarnya saja. Sempat bergumul pada organisasi sana sini. Sibuk dan menyibukkan diri dan bahkan tergoda untuk turut berpolitik dijenjang fakultas. Semuanya hanya serupa angin lalu. Tidak ada sesuatu yang bisa dibanggakan. Belum ada—
             Sebagai mahasiswa yang kadang masih sulit mengisi kantong sendiri, aku sadar, bahwa mahasiswa bukanlah ia yang kuliah, presentasi, dan pulang mengerjakan tugas semata. Tetapi mahasiswa adalah ia yang menyandang gelar ‘agent of change’ , sang pembuat perubahan. Dan jauh setelah kebangkitan nasional sudah berumur lebih dari 100 tahun, agen perubahan seperti apa yang diimpikan pendiri Negeri ini? Begitu fikirku. Sempat pula terjerembab hedonisme, wajahku dipalingkan Tuhan pada sebuah romantisme yang lebih hakiki. Romantisme itu bukan sebatas kisah kasih sejoli, namun lebih kepada rasa cinta pada Negeri. Romantisme antara aku, UMengajar, dan adik-adikku pada suatu tanah penuh doa: Ngadas. Tempat yang berada sekitar 40 KM dari pusat kota dan 2200 mdpl. Tempat ini kusebut Tanah penuh Doa, sebab disini kamu bisa merasakan sakralnya hubungan Hindu, Budha, dan Islam yang hidup saling mengasihi berdampingan.
            Tepatnya, pada tanggal 9 Nopember 2014, aku benar-benar di-jatuh cintakan pada sebuah profesi mulia yang katanya ketinggalan jaman itu, tepat saat aku berdiri di hadapan murid-muridku kelas VI SDN Ngadas 1. Setelah lolos tahapan seleksi UMengajar dan dilantik menjadi Pengajar Muda Batch 2 UMengajar, aku yang tergabung dalam tim kuning, kloter kedua, begitu antusias dan kompak menyiapkan media pembelajaran berupa flash cards dari kardus bekas, menempuh perjalanan jauh, menanjak, tak beraspal, dingin, dan ekstrem. Kami tidur dilantai meski suhu entah sudah minus berapa. Makan bersama rekan pengabdian dengan lauk seadanya bersama-sama. Lalu belajar bersama para murid mungil yang berpipi merah dan mata mereka yang coklat, disana, di suatu sekolah di atas awan: Ngadas. Bukankah itu romantis sekali?        
            Sore hari pengabdian, aku dan beberapa rekan dari Tim Kuning diberi tugas tambahan untuk mengajar dan melatih murid SMP 1 Atap Ngadas untuk upacara Hari Pahlawan esok lusa. Beberapa teman melatih pasukan pengibar bendera, sedang aku diberi tugas melatih tim paduan suara. Saat itu aku sempat percaya bahwa mereka pasti sudah hafal lagu-lagu nasional. Dugaanku meleset. Saat aku meminta mereka menyanyikan Indonesia Raya dan kuiringi gerakan tangan, tak ada satu mulutpun tebuka. Diam. Lalu aku berinisiatif menuliskan lirik lagu Indonesia Raya di papan. Memang, jarang sekali ada upacara di sekolah ini, dan upacara kali ini diadakan sebab disertai kunjungan Bapak Bupati Malang dalam rangka tradisi petekan, tradisi suku tengger untuk mengumpulkan para remaja untuk ‘diperiksa’ keperawanannya. Lagu kedua yang kuajarkan bernasib tak jauh beda. Saat aku bertanya, “Adakah yang hafal lagu Mengheningkan Cipta?” Mereka justeru menertawaiku, “Mbak, nyanyi Cinta Satu Malam mbak.” “Mbak, nyanyi Sakitnya ‘tu disini aja mbak.” Begitu seterusnya dan mereka saling meneriaki satu sama lain. Aku hampir menyerah karena tidak sanggup mengendalikan. Sampai datanglah salah seorang bapak guru mereka dan menegur mereka. Aku hanya mengingat, jarak tempatku berdiri kala itu hanya 40 KM saja dari pusat kota, dan mereka bersekolah dalam satu atap, tidak hafal lagu nasional, upacara benderapun jarang terjadi. Namun, sebagai mahasiswa apakah cukup hanya dengan berdebat panjang, menulis di akun sosial media, atau merasa cukup dengan menyalahkan penguasa? Renungkan.
 


            Dan romantisme itu kian tak terbendung, ketika UMengajar dengan segala visi baiknya menulari antusiasmeku untuk sejenak meninggalkan kenyamanan, hidup prihatin, dan sedikit berbagi hal sederhana. Pernahkah membaca, “karena dengan menderita bersama-sama, justeru akan mendekatkan bebrapa jiwa?” Disinilah kita belajar saling percaya kepada tim, kepada organisasi, juga kepada diri sendiri.  Anggaplah disini adalah hanyalah segerombolan para pencari nilai kehidupan. Karena ilmu terbaik adalah waktu dan pengalaman.   
            Aku tidak berniat menuliskan kisah yang ‘membujuk’ siapapun bergabung bersama kami. Tapi dari sepenggal perjalannkku tadi, aku berharap kalian tahu bahwa ilmu ikhlas berbagi, jiwa sosial, dan kepribadian diri tidak dibentuk dalam keadaan diam. Melainkan dengan terjun langsung ke lapangan, berbincang dengan alam, penduduk, dan tokoh-tokoh rakyat sebagai narasumber terbaik atas segala permasalahan. Dan dengan ini aku berterus terang, aku jatuh cinta menjadi seorang guru yang digugu dan ditiru.
Aku seorang guru, tak ada yang hebat dalam pekerjaanku, aku tidak membelah laut. Aku tidak berjalan diatas air. Aku hanya mencintai Anak-anak. (Marve Collins)


Pengajar Muda Batch 2
UMengajar



Riana Atik Yustiana
@yustianaa_
Artikel juga dipublish di website umengajar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law