Tampilkan postingan dengan label Curhat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Curhat. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 Agustus 2016

Pindahan Part #1



Hallo blog, setelah sekian lama aku tak menjamahkan remah-ramah kata di dindingmu. Tapi dalam hati sebenarnya aku tuh pengen terus nulis, banyak banget topik dan hal random yang pengen aku bagi, cuma ya gimana, skripsi tooks all of my focus. Ini udah sebulan lebih dari hari aku sidang dan masih ngurusin segala macam urusan yudisium dan penjajakan. Iya, aku lagi penjajakan. Menjajaki masa-masa dimana aku bentar lagi cabut dari Kota Malang. Gak usah mikir aku penjajakan sama cowok, karena prinsipku masih sama, gak mau pacaran.

Oke kembali ke topik yang mau aku bahasa kali ini ya, jadi setelah resmi dinyatakan lulus sama penguji, di situ aku ngerasa sedih, sedih karena baru sadar kehidupan perkuliahan udah berakhir, bentar lagi harus mikirin kerjaan, ninggalin Malang dan teman-teman. Sehari setelah sidang skripsi itu, aku langsung kepikiran buat kemas-kemas barang. Aku pungutin satu-satu barang yang mau aku rapihin di kardus biar entar enak bawanya. Semua barang-barang aku serakin di lantai kamar yang mendadak udah kaya gudang jaman Belanda yang dipake syuting acara dua dunia. Aku baru sadar, barangku seorang diri ini lumayan banyak. Iyalah pasti, orang aku empat tahun selama kuliah ini gak pernah namanya pindah kosan. Cuma pindah kamar aja karena kamar ku yang dulu deket sama tempat nonton tivi dan aku gak bisa belajar kalo ada suara rame-rame. Biasanya aku pasang headset di kuping tanpa ngedengerin apa-apa, tapi kadang nggak ketolong kalo mbak-mbak kos udah pada histeris liat serial Mahabarata yang waktu itu emang lagi ngetrend-ngetrendnya dan aku termasuk anak yang nggak suka nonton tivi karena di rumah pun aku jarang nonton tivi. But, time flies, I have changed, everything changes. Aku sekarang suka nonton tivi, maniak film, dan gila sama film India.

Iya, jadi dari awal masuk kuliah sampek berhasil brojol dari ruang sidang ini, aku nggak pernah berfikiran buat pindah kos-kosan, bagiku sekali aku nemuin tempat ternyaman (versi aku sendiri) nggak akan mudah bagi aku buat nyaman di tempat baru. Iya, aku ini emang orang yang paling susah buat pindahan, apapun itu; termasuk pindah perasaan, bagi aku itu suatu hal yang mustahil utnuk bisa nyaman di banyak hati, iya iyaa semua orang juga tahu aku pacaran sama sahabat aku sendiri yang udah kenal enam tahun terus pacarannya empat tahun. Dan sekarang masih belajar move on. Aku bakalan bohong abis kalo aku bilang aku udah seratus persen move on. Tapi biarpun demikian, aku kalo udah dikecewain ya udah, nggak ada kata balikan. Bahkan hal-hal kecil kaya semacam pilih tempat beli makan, aku kalo udah cocok sama satu tempat beli makan, aku akan terus kesitu nggak peduli sampek udah berapa hari, berapa minggu, berapa bulan, aku akan tetep kesitu, kecuali kalo emang lagi nggak bisa kesitu karena nginep di kosan teman yang jaraknya jauh, aku cuma akan berhenti kesana dan sama sekali nggak akan balik lagi buat datang ke tempat yang sama kecuali aku dikecawain. Pernah ini aku beli tempe bacem dan aku terus beli disitu dengan menu yang sama selama hampir semingguan, sampek akhirnya aku nemuin ada warna biru-biru aneh di dalam tempe bacem yang aku beli dan itu rasanya agak pait. Aku langsung gak kesana lagi, cuma sekali kemarin setelah setahun lebih nggak beli di tempat itu, dua minggu lalu karena nggak ada tempat makan lain yang buka, aku akhirnya beli disana, tapi udah nggak beli tempe bacem lagi, aku beli jamur krispi. Aku nggak bohong kalo sambel disana emang enak banget sebenarnya. Tapi begitulah diriku.

Termasuk juga soal pindahan ini, aku udah tiga tahun nempatin kamar yang sama dan empat tahun bertahan di rumah yang sama. Sampe tikus-tikus di kosan yang udah beranak pinak dan mungkin mereka suka nggosipin aku yang masih jomblo ini. Oke, aku tahu ini basi. Satu persatu aku kemasin barang-barang yang masih layak dipake dan misahin beberapa yang udah nggak penting-penting banget. Terharu liat buku sama catatan-catatan era alay pas masih jadi mahasiswa lucu-lucunya. Dan beberapa tumpuk formasi karduspun udah berjajar di lorong depan kamarku, sementara kamar masih kaya habis kena serangan pokemon karena jujur berat banget ngebuang barang itu. Aku emang termasuk orang yang paling sulit ngebuang-buang barang; biarpun itu cuma coretan-coretan kertas yang mungkin cuma bakal jadi bungkus kacang. Tapi aku cuma mikir, kalo kemampuan menghafal aku suatu hari pasti bakalan perlahan berkurang, dan aku kepengan kertas-kertas nggak penting itu pasti bakalan ngingetin banyak hal tentang masa muda aku. Ululululuu. Tapi di antara semua itu, perpindahan ini emang harus aku jalani, sama kaya dulu waktu aku mutusin aku pindah dari kamar yang nyaman di rumah ke kamar yang ada di Malang ini. Aku cukup tau kalo jadi mahasiswa itu adalah waktu paling berharga dan paling menyenangkan diantara semua cerita kehidupan sekolah aku, meskipun masa SD, SMP, dan SMA juga punya porsinya masing-masing. Justeru karena begitu menyenangkan itulah mungkin, aku nggak bisa selamanya jadi mahasiswa. Sebelum aku ketemu nggak enaknya jadi mahasiswa, Tuhan buru-buru mindahin aku ke lain tempat dan itu justeru yang membuatnya terlalu spesial, pun mungkin juga biar nggak sama kaya kejadian tahu bacem biru yang bikin kapok itu.
Momen pindahan kali ini emang pas banget buat aku pribadi, terutama buat ngajarin aku betapa waktu berjalan begitu cepat dan aku bukan apa-apa sekarang, cuma ketambahan nama di belakang dan itu justeru yang malah bikin aku tambah kepikiran. Pulang enggan, kerjaan belum di tangan. Udah nggak bisa dan nggak mau ngerepotin orang tua lagi, tapi lagi-lagi aku juga harus pulang. Dan barang-barag aku yang bikin aku berat hati untuk pergi dari Malang ini juga sedikit demi sedikit harus berani aku tinggalin, buat nerima yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Tsaaaah, aku keingat film Manusia Setengah Salmon ini jadinya.
Betewe ini beberapa benda bersejarah aku selama masa perkuliahan.



Minggu, 28 Juni 2015

Surat untuk Rumah


Saya tidak tahu apa yang saya lukan ini benar atau salah. Yang saya tahu hanya, saya harus melakukan ini.
            Sejak pertama terpilih di kabinet terbaru saya menjadi bagian dari sebuah divisi yang saya kira ‘vital’. Divisi ini berada di bawah naungan Menteri Keorganisasian. Saya dipercaya mengabdi selama satu tahun ke depan bersama dua sahabat yang kalau dibandingkan cukup berkebalikan. Salah seorang memiliki pengalaman organisasi nol, sedang seorang lagi aktifis kampus dengan berbagai organisasi yang ditembus. Saya? Saya mah apa atuh! Pendidikan di sekolah dasar yang saya tempuh di sekolah “pengalaman organisasi” pun cukup menggambarkan siapa diri saya. Saya orang yang miskin pengalaman pula.
            Kalau banyak orang mengira saya aktifis, sebenarnya salah! Saya hanya pernah aktif di organisasi intrasekolah, paling banter juga menjadi ketua osis dan ketua majlis ta’lim semasa sekolah. Kalau toh lagi dirasa pengalaman menjadi ketua osis itu sudah cukup menjadi modal, salah pula. Saya adalah ketua osis sekolah pinggiran yang usia sekolahnya saja belum genap 15 tahun. Saya mencari dan terus mencari, sampai menuju masa kuliah saya sempat mundur dari pendaftaran himpunan mahasiswa jurusan dan tawaran menjadi dewan mahasiswa fakultas dengan alasan yaitu pribadi ketidakcocokan terhadap iklim politik fakultas. Lalu, bertemulah saya dengan rumah. Klik di hati. Hehe abaikan.
            Awal mula saya menulis curhatan ini adalah solat subuh pagi ini. Sejenak setelah solat, saya ingat apa niat awal saya di rumah. Di samping keinginan move on, saya juga ingin belajar rupanya. Belajar menjadi pribadi yang berbeda, lebih tangguh, dan berjiwa sosial. Itu. Sampai pada titik dimana saya menjadi bagian penting dari organisasi ini, saya yang kosong terus menuntut diri untuk belajar benyak hal. Tentang organisasi, tentang pribadi orang lain, tentang pandangan hidup, sampai tentang jati diri. Terus.
            Percayakah kamu akan teori lama ‘bahwa hutan mampu menyibak watak asli seseorang’? Anggap saja organisasi ini adalah hutan, bayangkan saat kita semua dilepas di alam liar, dan belantara dimana kamu dituntut untuk bertahan pada alam. Tempat dimana kamu hanya punya Tuhan untuk bergantung, karena boleh jadi orang-orang disekitarmu bisa saja mendadak kanibal saat mereka kelaparan. Bukankah urusan manusia hanya sedekat isi perut dan buang air? Atau jongos dan babu? Tidak ada tuan disini, teorinya sih begitu. Iya, hutan benar-benar mampu mengungkap watak asli seseorang. Lihat saja, siapa yang paling santer berjuang dengan takut-takut, yang munafik, atau yang kanibal sekalian. Yang kamu kira baik belum tentu baik. Yang kamu kira polos belum tentu juga begitu.
            Pesan singkat yang mungkin bisa jadi pedoman untuk bertahan pada belantara ini. Percayalah pada dirimu sendiri. Lakukanlah semua hal dengan penuh pertimbangan karena boleh jadi kamu akan menjadi korban catatan merah di belakang. Kamu harus melakukan semuanya dengan baik, tidak perlu banyak orang yang tahu meski kamu mungkin terluka, tersandung batu, atau terjebak ranjau dan harus melepaskan diri sendirian. Bukankah di hutan itu kadang gelap? Tidak perlu banyak orang yang tahu apa yang sudah kamu kerjakan kala gelap. Bagi siapa saja yang miskin pengalaman hidup liar seperti ini, lebih baik jangan mengadu sana sini. Belajarlah dari alam yang tidak pernah mengadu saat kekeringan atau mengeluh saat hujan tak juga reda. Jangan pula profokatif tapi munafik. Menyalahkan satu orang, namun justeru datang padanya kala butuh. Bekerjalah, berbuat baiklah. Kelak saat kita tak lagi ada, entah karena suatu apa, semua akan tahu apa yang sudah kita kerjakan dalam gelam dan saat sendiri.

Minggu, 31 Mei 2015

Latah


Latah adalah keadaan meniru-niru sikap atau kegiatan orang lain.
 
Di Trenggalek, Foto (bukan) Latah
Saya takut sekali sama peristiwa satu ini, saya takut latah menulis setelah melihat teman menulis. Saya latah jatuh cinta hanya karena melihat beberapa teman sudah menghabisi masa lajangnya. Saya takut sekali latah. Tapi demi apapun, saya memang tipe-tipe penulis yang tidak pernah produktif saat tidak galau. Haha, tapi setelah saya pikir-pikir sikap seperti itu hanya akan merugikan saya sendiri. Karena terkesan kaku dan kekakuan akan membuat saya sulit mendapat materi. Kedua, saya merasa tulisan saya yang dulu-dulu justeru kaku, seperti bahasa novel dan cenderung menggurui. Nah, lo. Jangan-jangan itu juga karena latah. Maklum, semester dahulu saya masih sering dan punya banyak waktu untuk baca novel. Sekarang sudah tidak lagi.

Yang terakhir adalah keinginan menggunakan bahasa Inggris di setiap postingan saya. Alasan klasiknya adalah saya pengen konsisten sebagai anak jurusan Sastra Inggris. Kalau mau jujur, kadang latah gitu misal habis selesai perkuliahan yang memang harus ngomong pake bahasa Inggris, sampe kosan sampe ke media sosial juga pake bahasa Inggris. Selebihnya, kadang khilaf. Karena alasan jika menggunakan bahasa Inggris ada banyak yang protes. Pernah sekali, lagi chattingan di grup SMA ada anak lulusan Pare nyeletuk pake bahasa Inggris yang menurut saya Inggris yang terlalu Indonesia, akhirnya kami berdua debat, debatnya pake bahasa Inggris. Yang lain? Mereka marah-marah karena merasa kami salah tempat. Iya, memang benar sih. Salah tempat. Salah banget.
Tapi satu hal yang saya kadang prihatin adalah latah soal info di sosial media. Orang Indonesia kadang nggak sadar sama kelatahannya sendiri. Berebut jadi yang pertama membagi info soal beberapa kabar yang bahkan kebenarannya belum teruji.  Misalnya beras plastik atau gula pasir. Duh kan. Hal kedua nih, yang bener-bener bikin saya prihatin adalah masalah ‘adventuring’. Entah lagi booming setelah film pendakian tahun 2013 itu atau acara televisi tentang adventuring yang lagi hits. Pokoknya itu. Anak-anak di kota saya, di Tulungagung sedang berbondong bondong dan berlarian tentang siapa yang paling duluan mengunjungi tempat-tempat keren yang sedang hits di Tulungagung. Saya sejujurnya bangga soal ini. Tapi ngeliat dari sudut pandang agak jauh, kok ya miris juga yaa. Anak muda di kota saya sedang terlena, senang di mabukkan dengan beberapa hal yang cenderung fatamorgana. Semua mendadak mengaku sebagai ‘traveler’, ‘instagramer’, ‘pendaki’, ‘pecinta alam’, banyaklah yang intinya semua latah.  LATAH. Terus berbondong bondong datang ke tempat wisata baru, sibuk foto sini situ, sibuk nyari angle terbaik. Semua itu mungkin bukan perbuatan dosa. Saya juga sering. Tapi satu hal, kadang ketika kita sibuk memerhatikan ke arah kerumunan yang sama, kita lupa bahwa di belakang ada yang diam-diam mengambil sesuatu dari kita.

Mungkin saja sebentar lagi banyak investor asing yang menanam modal di daerah kita, dan menjadikan penduduk aslinya jadi buruh. Sudah pernah terjadi kan di kecamatan Campurdarat, kecamatan yang kaya akan tambang batu marmernya ini, coba lihat siapa yang kerja jadi penambang kasar? Lalu coba juga telisik siapa yang punya pabrik pengolahannya? Contoh yang lebih sederhana adalah latah soal sampah. Kita sibuk berfoto-foto ria di tempat wisata, tapi buag sampah sembarang. Pertanyaan besarnya tuh gini lo, bukankah yang kita cari di tempat wisata itu pemandangannya? Lalu kenapa justeru sesuatu yang kita cari-cari setelah ketemu di kotori? Contoh kecilnya Telaga Tiga Warna, semua berlomba ambil angle terbaik untuk foto agar rampak nan indah dan menjadikan telaga sebagai background foto. Lah, kenapa justeru dikotori? Harus membangun mindset dari mana buat ngerubah ini semua? Yap, diri sendiri. Cuma itu jawabanya. Wal hasil waktu kesana sama teman-teman, kita bertiga berusaha ngambilin sampahnya. Meski gak sedikit cacian yang kita dapat.
Kotaku, suatu hari aku ingin tetap kembali, maka jangan latah lagi. Saya masih ingin menikmati suasana pedesaan nan asri, bukan yang dipenuhi dengan mal mal besar yang membuat hedon, juga bukan dipenuhi dengan kendaraan dengan plat plat luar kota. Tetaplah ayem tentrem mulyo lan tinoto.
© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law