Latah adalah keadaan meniru-niru sikap atau kegiatan
orang lain. |
Di Trenggalek, Foto (bukan) Latah |
Yang terakhir adalah keinginan menggunakan bahasa Inggris di setiap postingan saya. Alasan klasiknya adalah saya pengen konsisten sebagai anak jurusan Sastra Inggris. Kalau mau jujur, kadang latah gitu misal habis selesai perkuliahan yang memang harus ngomong pake bahasa Inggris, sampe kosan sampe ke media sosial juga pake bahasa Inggris. Selebihnya, kadang khilaf. Karena alasan jika menggunakan bahasa Inggris ada banyak yang protes. Pernah sekali, lagi chattingan di grup SMA ada anak lulusan Pare nyeletuk pake bahasa Inggris yang menurut saya Inggris yang terlalu Indonesia, akhirnya kami berdua debat, debatnya pake bahasa Inggris. Yang lain? Mereka marah-marah karena merasa kami salah tempat. Iya, memang benar sih. Salah tempat. Salah banget.
Tapi satu hal yang saya kadang prihatin adalah latah soal
info di sosial media. Orang Indonesia kadang nggak sadar sama kelatahannya
sendiri. Berebut jadi yang pertama membagi info soal beberapa kabar yang bahkan
kebenarannya belum teruji. Misalnya
beras plastik atau gula pasir. Duh kan. Hal kedua nih, yang bener-bener bikin
saya prihatin adalah masalah ‘adventuring’. Entah lagi booming setelah film
pendakian tahun 2013 itu atau acara televisi tentang adventuring yang lagi hits.
Pokoknya itu. Anak-anak di kota saya, di Tulungagung sedang berbondong bondong dan
berlarian tentang siapa yang paling duluan mengunjungi tempat-tempat keren yang
sedang hits di Tulungagung. Saya sejujurnya bangga soal ini. Tapi ngeliat dari
sudut pandang agak jauh, kok ya miris juga yaa. Anak muda di kota saya sedang
terlena, senang di mabukkan dengan beberapa hal yang cenderung fatamorgana.
Semua mendadak mengaku sebagai ‘traveler’, ‘instagramer’, ‘pendaki’, ‘pecinta
alam’, banyaklah yang intinya semua latah.
LATAH. Terus berbondong bondong datang ke tempat wisata baru, sibuk foto
sini situ, sibuk nyari angle terbaik. Semua itu mungkin bukan perbuatan dosa.
Saya juga sering. Tapi satu hal, kadang ketika kita sibuk memerhatikan ke arah
kerumunan yang sama, kita lupa bahwa di belakang ada yang diam-diam mengambil
sesuatu dari kita.
Mungkin saja sebentar lagi banyak investor asing yang menanam modal di daerah kita, dan menjadikan penduduk aslinya jadi buruh. Sudah pernah terjadi kan di kecamatan Campurdarat, kecamatan yang kaya akan tambang batu marmernya ini, coba lihat siapa yang kerja jadi penambang kasar? Lalu coba juga telisik siapa yang punya pabrik pengolahannya? Contoh yang lebih sederhana adalah latah soal sampah. Kita sibuk berfoto-foto ria di tempat wisata, tapi buag sampah sembarang. Pertanyaan besarnya tuh gini lo, bukankah yang kita cari di tempat wisata itu pemandangannya? Lalu kenapa justeru sesuatu yang kita cari-cari setelah ketemu di kotori? Contoh kecilnya Telaga Tiga Warna, semua berlomba ambil angle terbaik untuk foto agar rampak nan indah dan menjadikan telaga sebagai background foto. Lah, kenapa justeru dikotori? Harus membangun mindset dari mana buat ngerubah ini semua? Yap, diri sendiri. Cuma itu jawabanya. Wal hasil waktu kesana sama teman-teman, kita bertiga berusaha ngambilin sampahnya. Meski gak sedikit cacian yang kita dapat.
Mungkin saja sebentar lagi banyak investor asing yang menanam modal di daerah kita, dan menjadikan penduduk aslinya jadi buruh. Sudah pernah terjadi kan di kecamatan Campurdarat, kecamatan yang kaya akan tambang batu marmernya ini, coba lihat siapa yang kerja jadi penambang kasar? Lalu coba juga telisik siapa yang punya pabrik pengolahannya? Contoh yang lebih sederhana adalah latah soal sampah. Kita sibuk berfoto-foto ria di tempat wisata, tapi buag sampah sembarang. Pertanyaan besarnya tuh gini lo, bukankah yang kita cari di tempat wisata itu pemandangannya? Lalu kenapa justeru sesuatu yang kita cari-cari setelah ketemu di kotori? Contoh kecilnya Telaga Tiga Warna, semua berlomba ambil angle terbaik untuk foto agar rampak nan indah dan menjadikan telaga sebagai background foto. Lah, kenapa justeru dikotori? Harus membangun mindset dari mana buat ngerubah ini semua? Yap, diri sendiri. Cuma itu jawabanya. Wal hasil waktu kesana sama teman-teman, kita bertiga berusaha ngambilin sampahnya. Meski gak sedikit cacian yang kita dapat.
Kotaku, suatu hari aku ingin tetap kembali, maka jangan
latah lagi. Saya masih ingin menikmati suasana pedesaan nan asri, bukan yang
dipenuhi dengan mal mal besar yang membuat hedon, juga bukan dipenuhi dengan
kendaraan dengan plat plat luar kota. Tetaplah ayem tentrem mulyo lan tinoto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar