Minggu, 31 Mei 2015

Bawa Kembali Sampahmu


Mencintai berarti memiliki.
Menikmati berarti memiliki.
Memiliki berarti mencintai sekaligus menikmati.
Kesimpulan kesimpulan diatas baru tadi pagi saya temukan di atas bukit Telaga Tiga Warna.
Yap! Tadi siang sahabat ketje saya memberi kejutan datang kerumah tanpa kabar. Sialan, dia sama cowok *mantannya sih* kayak berasa banget gitu saya lagi dikerjain, (gak usah sms Riana dulu deh kalo mau main, dia pasti lagi masak, lagi jelek belum mandi hahaha)
Lagi jerit-jerit kegirangan ngeliat mereka di depan rumah, sayanya baru sadar kalau saya ternyata masih kaya upik abu (cantik sih, dalemnya, cuma lagi ke tutup angus wajan habis goreng tahu), akhirnya mandi sebentar dan haha hehe lagi sama mereka.
Maksa mereka makan siang bentar, hitung-hitung kali ini saya ada temannya makan, kan biasanya sendiri.
Tepat saat adzan dzuhur, kami bertiga pamit Mbah Ibu mau jalan-jalan sebentar, niat awal ke Pantai Mulok tapi karena saya yang gak mau jauh jauh pergi (dari hatimu), akhirnya harus ngelewatin depan rumah mantan dan cuma 15 menit kemudian taraaa.. sampailah kita ke danau Telaga Tiga Warna. Oke, ini tempat semacam bekas galian tambang yang membentuk cekungan-cekungan berisi air warna warni, ada hijau, hitam, dan biru. Namanya juga bekas galian, jadi pasti ada gundukan-gundukan kenangan, duh salah fokus lagi! Gundukan itu berasal dari galian tanah yang jadi keliatan kaya bukit gitu. Nah, pertama kali masuk mood saya seketika berubah karena yang saya lihat pertama adalah sampah, bukan lebay atau sok sih, tapi ini kota saya, ini milik saya juga, kalau suatu hari ada turis asing yang kesini ngeliat ini semua, saya juga harus ikut malu karena tidak bisa menjaga benda milik sendiri. Bukankah mencintai berarti harus merasa memiliki? Dan bukankah kita seharusnya merawat apa yang kita miliki? Sama kaya cinta! Ketika kita mencintai seseorang, pasti kita mau dia sehat, gak gampang sakit, gak kotor, ya gak sob?



Berusaha ngerubah mood dengan cara nawarin Vivid jadi objek foto saya, walaa! Ambil angle tepat di atas danau dengan airnya yang hijau, dari layar kamera saya melihat ada anak kecil melempar botol plastik bekas ke tengah danau dan dibiarkan orang tuanya, saya pengen memaki seketika itu juga. Damn! Apalah esensi datang ke sebuah danau berwarna? Bukankah yang ingin kita nikmati adalah danau dan warnanya? Lalu kenapa justeru benda yang dinikmati dikotori? Jangan ajarkan saya membenci orang-orang di negeri saya sendiri, please!
Oke dari pada mengumpat percuma, akhirnya saya inisiatif memunguti sampah-sampah yang bisa saya jangkau, yihi, ini areanya terjal dan curam coy kan bekas galian. Saya, Masturi, dan Vivid memutuskan untuk pindah tempat saja, dari pada mati bosan karena kebanyakan mengupat. Kita akhirnya tertarik naik ke tebing yang paling tinggi diantara yang lain, ternyata masih ada sampah terutama botol plastik bekas gitu. Kita lanjut memungut botol botol bekas sembari menuruni bukit. Awalnya cuma modal tangan, agak sulit rupanya karena turun bukitnya agak curam dan harus bawa botol botol malang ini. Alhamdulillah akhirnya nemu plastik yang lumayan besar. Dari situ kita makin semangat mungutin plastik bekas, botol bekas, bekas pacar, apalah, pokonya sampah. Setelah terkumpul banyak, kita justeru bingung dimana harus membuang sampahnya, memang, di tempat ini tidak disediakan tempat sampah satu pun. Atau saya yang berlebihan mungkin, wong katanya pemerintah daerah sendiri rupaya belum mengetahui keberadaan tempat ini. So, it’s totally complicated. Pemerintah yang tidak mau tahu atau masyarakat yang apatis. Entahlah. Kembali ke kami bertiga yang sibuk mencari tempat sampah, akhirnya nemu stand warung kecil yang di sampingnya ada gundukan sampah, saya langsung tawarin ke ibunya siapa tahu mau ambil botol bekas ini, paling tidak untuk dijual ke yang lebih mampu mendaur ulang mungkin. Ibunya mengiyakan tawaranku. Sepersekian detik ketika kita bertiga beranjak pergi dan mau memunguti sampah lagi, ibunya teriak dan tanya, “Mbak e penelitian yee? Kok gelem ae njupuki sampah.”  Tanya ibu itu dengan logat khas Tulungagung. Saya sedikit tidak paham sebenarnya, yang tertangkap di kepala saya waktu itu adalah, “O jadi, setiap yang datang melakukan kegiatan sosial itu harus dengan alasan tugas, penelitian, atau semacamnya ya.” Tanpa sadar saya jawab beliau dengan bahasa Indonesia, “Enggak bu.” “Lha kok mau?”, jawab ibunya, “Hehe, biar bersih buuuk..”

Jangan lupa bawa botol air sendiri


Lanjut ke spot lain, sampah masih saja muncul di pandangan. Kita naik turun bukit demi munguti sampah sampah lain, sampai-sampai sendalnya Masturi rusak dan gak bisa dipake lagi. Well, tepat jam1 siang di atas bukut gersang, dia jalan tanpa alas kaki. Haha anak pramuka satu ini emang kadang lucu dan gak jaiman. Suka deh sama idungnya, loh. Udah muter-muter jauh, dan merasa kasian sama Masturi kita beriga mutusin buat balik, di perjalanan turun bukit, ada segerombloan anak muda ngejek kami, kenapa kami mau mungutin sampah, kenapa serepot ini, teriakan justeru bikin kita ketawa, belum lagi yang kita ngeliat sepasang sejoli duduk di pojokan di bawah pohon, ngaps? Pacaran dan nyampah! Vivid bilang, “mereka teganya kelewatan.” Haha
Point besar yang jadi perhatian saya adalah, Tulungagung sedang bergerak maju. Menyamakan diri dengan kota besar di sekitanya seperti Kediri dan Blitar. Bergerak dengan kekhasan potensi wisata alam yang tiada habisnya. Tapi, sejenak jika dipikir lebih luas, Tuluangagung sedang dalam ujian terberatnya. Berada di zona nyaman kadang membuat terlena. Uforia kadang justeru menimbulkan dampak buruk yang nyata. Ayo sama-sama saling mengingatkan, bahwa tugas kita bukan hanya jalan-jalan, nyari tempat yang instagramable, atau teriak bilang cinta Indonesia di sosial media tapi gak melakukan apa-apa. Penullis juga kadang khilaf. Mari saling menjaga dan mengingatkan. Kaya aku dan kamu, iya kamu.. :):)
Terakhir ini sahabat-sahabat ketjeku
Vivid dan Mas Manchung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law