Mencintai
berarti memiliki.
Menikmati
berarti memiliki.
Memiliki
berarti mencintai sekaligus menikmati.
Kesimpulan
kesimpulan diatas baru tadi pagi saya temukan di atas bukit Telaga Tiga Warna.
Yap!
Tadi siang sahabat ketje saya memberi kejutan datang kerumah tanpa kabar.
Sialan, dia sama cowok *mantannya sih* kayak berasa banget gitu saya lagi
dikerjain, (gak usah sms Riana dulu deh kalo mau main, dia pasti lagi masak,
lagi jelek belum mandi hahaha)
Lagi
jerit-jerit kegirangan ngeliat mereka di depan rumah, sayanya baru sadar kalau
saya ternyata masih kaya upik abu (cantik sih, dalemnya, cuma lagi ke tutup
angus wajan habis goreng tahu), akhirnya mandi sebentar dan haha hehe lagi sama
mereka.
Maksa
mereka makan siang bentar, hitung-hitung kali ini saya ada temannya makan, kan
biasanya sendiri.
Tepat
saat adzan dzuhur, kami bertiga pamit Mbah Ibu mau jalan-jalan sebentar, niat
awal ke Pantai Mulok tapi karena saya yang gak mau jauh jauh pergi (dari
hatimu), akhirnya harus ngelewatin depan rumah mantan dan cuma 15 menit
kemudian taraaa.. sampailah kita ke danau Telaga Tiga Warna. Oke, ini tempat
semacam bekas galian tambang yang membentuk cekungan-cekungan berisi air warna
warni, ada hijau, hitam, dan biru. Namanya juga bekas galian, jadi pasti ada
gundukan-gundukan kenangan, duh salah
fokus lagi! Gundukan itu berasal dari galian tanah yang jadi keliatan kaya
bukit gitu. Nah, pertama kali masuk mood saya seketika berubah karena yang saya
lihat pertama adalah sampah, bukan lebay atau sok sih, tapi ini kota saya, ini
milik saya juga, kalau suatu hari ada turis asing yang kesini ngeliat ini
semua, saya juga harus ikut malu karena tidak bisa menjaga benda milik sendiri.
Bukankah mencintai berarti harus merasa memiliki? Dan bukankah kita seharusnya
merawat apa yang kita miliki? Sama kaya cinta! Ketika kita mencintai seseorang,
pasti kita mau dia sehat, gak gampang sakit, gak kotor, ya gak sob?
Berusaha
ngerubah mood dengan cara nawarin Vivid jadi objek foto saya, walaa! Ambil
angle tepat di atas danau dengan airnya yang hijau, dari layar kamera saya
melihat ada anak kecil melempar botol plastik bekas ke tengah danau dan
dibiarkan orang tuanya, saya pengen memaki seketika itu juga. Damn! Apalah
esensi datang ke sebuah danau berwarna? Bukankah yang ingin kita nikmati adalah
danau dan warnanya? Lalu kenapa justeru benda yang dinikmati dikotori? Jangan
ajarkan saya membenci orang-orang di negeri saya sendiri, please!
Oke
dari pada mengumpat percuma, akhirnya saya inisiatif memunguti sampah-sampah
yang bisa saya jangkau, yihi, ini areanya terjal dan curam coy kan bekas
galian. Saya, Masturi, dan Vivid memutuskan untuk pindah tempat saja, dari pada
mati bosan karena kebanyakan mengupat. Kita akhirnya tertarik naik ke tebing
yang paling tinggi diantara yang lain, ternyata masih ada sampah terutama botol
plastik bekas gitu. Kita lanjut memungut botol botol bekas sembari menuruni
bukit. Awalnya cuma modal tangan, agak sulit rupanya karena turun bukitnya agak
curam dan harus bawa botol botol malang ini. Alhamdulillah akhirnya nemu
plastik yang lumayan besar. Dari situ kita makin semangat mungutin plastik
bekas, botol bekas, bekas pacar, apalah, pokonya sampah. Setelah terkumpul
banyak, kita justeru bingung dimana harus membuang sampahnya, memang, di tempat
ini tidak disediakan tempat sampah satu pun. Atau saya yang berlebihan mungkin,
wong katanya pemerintah daerah sendiri rupaya belum mengetahui keberadaan
tempat ini. So, it’s totally complicated.
Pemerintah yang tidak mau tahu atau masyarakat yang apatis. Entahlah. Kembali
ke kami bertiga yang sibuk mencari tempat sampah, akhirnya nemu stand warung kecil yang di sampingnya
ada gundukan sampah, saya langsung tawarin ke ibunya siapa tahu mau ambil botol
bekas ini, paling tidak untuk dijual ke yang lebih mampu mendaur ulang mungkin.
Ibunya mengiyakan tawaranku. Sepersekian detik ketika kita bertiga beranjak
pergi dan mau memunguti sampah lagi, ibunya teriak dan tanya, “Mbak e
penelitian yee? Kok gelem ae njupuki sampah.” Tanya ibu itu dengan logat khas Tulungagung. Saya
sedikit tidak paham sebenarnya, yang tertangkap di kepala saya waktu itu
adalah, “O jadi, setiap yang datang
melakukan kegiatan sosial itu harus dengan alasan tugas, penelitian, atau
semacamnya ya.” Tanpa sadar saya jawab beliau dengan bahasa Indonesia,
“Enggak bu.” “Lha kok mau?”, jawab ibunya, “Hehe, biar bersih buuuk..”
|
Jangan lupa bawa botol air sendiri |
|
Lanjut
ke spot lain, sampah masih saja muncul di pandangan. Kita naik turun bukit demi
munguti sampah sampah lain, sampai-sampai sendalnya Masturi rusak dan gak bisa
dipake lagi. Well, tepat jam1 siang di atas bukut gersang, dia jalan tanpa alas
kaki. Haha anak pramuka satu ini emang kadang lucu dan gak jaiman. Suka deh
sama idungnya, loh. Udah muter-muter
jauh, dan merasa kasian sama Masturi kita beriga mutusin buat balik, di
perjalanan turun bukit, ada segerombloan anak muda ngejek kami, kenapa kami mau
mungutin sampah, kenapa serepot ini, teriakan justeru bikin kita ketawa, belum
lagi yang kita ngeliat sepasang sejoli duduk di pojokan di bawah pohon, ngaps?
Pacaran dan nyampah! Vivid bilang, “mereka teganya kelewatan.” Haha
Point
besar yang jadi perhatian saya adalah, Tulungagung sedang bergerak maju.
Menyamakan diri dengan kota besar di sekitanya seperti Kediri dan Blitar.
Bergerak dengan kekhasan potensi wisata alam yang tiada habisnya. Tapi, sejenak
jika dipikir lebih luas, Tuluangagung sedang dalam ujian terberatnya. Berada di
zona nyaman kadang membuat terlena. Uforia kadang justeru menimbulkan dampak
buruk yang nyata. Ayo sama-sama saling mengingatkan, bahwa tugas kita bukan
hanya jalan-jalan, nyari tempat yang instagramable, atau teriak bilang cinta
Indonesia di sosial media tapi gak melakukan apa-apa. Penullis juga kadang
khilaf. Mari saling menjaga dan mengingatkan. Kaya aku dan kamu, iya kamu..
:):)
Terakhir ini sahabat-sahabat ketjeku
|
Vivid dan Mas Manchung |