Jumat, 11 Desember 2015

Interval: Bentuk Penghormatan pada Otak dan Tubuh


Hebat memang punya banyak kegiatan itu, memulai proker-proker baru dan selalu punya kesibukan untuk dikerjakan. Kita merasa berarti, sibuk, dan bertanggungjawab atas sesuatu.

Kita sering beranggapan kepada diri sendiri kalau kita sudah sibuk banget. Begitu juga dengan orang lain, kadang kita berideologi bahwa kita adalah kelompok orang-orang yang penting, punya tugas, dan punya tanggungjawab. Tidak bisa dipungkiri juga kalau kita sering merasa kehidupan yang kita jalani adalah lebih bermanfaat dan lebih bermutu dari pada yang orang lain lakukan. Tidak juga bisa dipungkiri bahwa fanatisme juga mulai menggerogoti perasaan. Bahwa organisasi atau pekerjaan yang kita tekuni adalah lebih baik dari apa yang dimiliki orang lain.

Kita lupa tujuan utama organisasi atau pekerjaan kita.

Makanyalah, perlu waktu yang lama untuk memulihkan pikiran, perasaan, dan fisik. Meskipun, jelas, bahwa semua pekerjaan dan organisasi jalani akan memberi banyak manfaat entah dalam jangka pendek, menegah, atau panjang. Tapi, ada saatnya kita perlu bersantai sejenak, bukan untuk melupakan, tapi untuk mempersiapkan diri dan pikiran, sehingga saat kita memuali bekerja lagi, akan lahir ide-ide baru nan segar.

Seperti yang aku lakukan beberapa hari ini, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk tempat tidur, kasur, film, dan musik. Lega rasanya untuk jauh sebentar dari rutinitas. Meskipun sempat berfikir bahwa sebenarnya bukan badan yang harus di charge ulang, melainkan psikis dan mental. Sehingga kasur dan kawan-kawannya itu acapkali justeru membuat kesal tidak tahu asal-usulnya. Rasanya, orang-orang tipe-tipe aku ini memang lebih cocok dengan pantai, gunung, tebing, dan pemandangan alam lainnya. Yang pasti, itu semua adalah bagian dari pilihan. Sebuah interval sebagai bentuk Penghormatan pada Otak dan Tubuh.

Ini cuplikan jalan-jalan ke gunung beberapa waktu lalu:




Selamat berlibur, selamat 'membersihkan otak'.

Selasa, 08 Desember 2015

Surabaya Part #1

Jadi sekitar pertengahan bulan Nopember lalu, aku sempat berencana ngilang sebentar. Satu, karena jenuh sama rutinitas PPL yang emang barusan selesai. Dua, karena aku sempat mikir, aku nggak akan pernah merasa cukup kalau cuma stuck disini aja. As world know lah, aku ikutan organisasi yang orang-orangnya ya masih sama itu-itu aja. Asik sih, cuma kudu dan udah masanya keluar dari zona aman dan nyaman.

Seminggu setelah lolos pengumuman kegiatan peace camp di Mojokerto, aku excited banget karena udah geregetan pengen keluar dari Malang. Langsung cus bayar registrasi make uang dari ATM rossy, yang emang notabene kudu ngirim lewat Bank Mandiri. Jujur, setelah PPL berakhir, itu justeru awal ke-bokek-an tingkat galaxy dalam sejarah perkuliahan. Haha, uang kiriman udah habis buat bikin media, ngasih oleh-oleh anak-anak selama PPL, but that's OK.

Bokek is just a little story of a survivor life.

Beberapa hari sebelum berangkat ke Surabaya, aku bolak-balik ke stasiun buat beli tiket. Tapi, for your information, kalau sekarang tiket lokal dapat dibeli mulai dari tiga jam sebelum keberangkatan. Ya kali, aku udah hampir setahunan nggak naik kereta, terakhir naik itu waktu pergi ke Depok buat konferensi nasional gerakan mengajar. Nah lo, jadi mondar mandirnya ke stasiun agak nggak guna.

Jadwal kereta dari Malang ke Surabaya tepat pukul 04.30 pagi, waktu itu aku diantar teman kontrakan jam 4 pagi. Hemm, Malang bener-bener keren pagi dari paginya, siangnya, sorenya, sampai Malangnya. Keren. Sampai di Stasiun jam 4.15 dan masih nunggu Anissa, adik tingkat yang ternyata juga ikutan acara yang sama. Lama banget nunggu anaknya sampe dimarahi sama petugas kereta karena emang kereta udah mau naik. Akhirnya, aku naik dan masuk kereta. Si Anisa menyusul kemudian. Terpaksa kita beda gerbong dan harus duduk sendiri. Ngantuk banget, yaudahlah, aku sempatin tidur sebentar.

Sampe di Surabaya jam 7 pagi, ketemu lagi sama Anisa di peron, dan sms panitia tanya harus naik apa untuk menuju UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Kata Ce Carol, kita harus naik angkot warna kuning tujuan UINSA. Esumpaaah, guwe setengah buta warna. Jadi please, jangan nunjukin aku clue pake warna dan if you know angkot di Surabaya warnanya kuning semua. Sumpah. Guwe buta warna. Akhinya keluar stasiun dan nanya sopir angkot. Angkonta lewat UINSA atau enggak. Pas aku nanya, bapaknya cuma nganguuk-ngangguk aja. Udah stengah perjalanan si Anisa nanya, "Pak ini angkot beneran lewat UIN Sunan Ampel,kan?" Lha dalah, sial. Sial banget. Bapaknya bilang tadi dengernya makam sunan ampel, bukan uin sunan ampel. Njirr, udah setengah jam ngangkot dan salah. Akhirnya, bapaknya baik banget dan nyariin angkot yang menuju tujuan kita.

Sampe disana jam 8 dan kita udah ditungguin sama Ce Carol dan peserta lain yang udah nunggu di dalam minibus. Karena aku emang kloter terakhir, jadi emang udah nggak usah nunggu lama-lama, kemana? Yap. Kita cus ke Mojokerto, tempat pelaksanaan acara. Jarak Surabaya ke Mojokerto ditempuh dalam dua jam lamanya, panas, bau jalan, dan sumpah ngantuk. Yaudah, dari pada nyiumin bau asap kendaraan, mending tidur, lumayan dua jam. Haha.

Sampe di Maha Vihara Mojokerto duah mepet jam 10, karena jalanan macet parah. Nggak pake basa basi,langsung pembukaan acara. Ketemu teman-teman baru. Beneran, itu seru. Setelah pembukaan acaranya langsung pembagian kamar, dan kebetulan se kamar sama Yanita, Sofi, Desi, dan beberapa teman dari Lombok cc Faridah dan Samina. Mojokerto panas gila, akhirnya sebelum dzuhur bisa mandi.

Selema ikutan peace camp dan ketemu teman-teman baru, makan seadanya, bertukar pikiran tentang kepercayaan masing-masing, team building, energizer, sampai moment paling mengharukan yaitu ikutan reconciliation menu. Dimana masing-masing peserta ngungkapin stereotype mereka tentang agama lain waktu itu dan moment saling meminta maaf, nangis, dan pelukan. Semuanya jadi saudara sekarang. Alhamdulillah.

Nih, beberapa foto yang sempat aku ambil dari google drive Peace Camp kemarin.
Adegan Jelly Fish yang berhasil bikin Ko Anjo ikutan joget haha

Foto bareng setelah olah raga pagi

Waktu kita berikrar buat tegas menolak kekerasan, itu wajah setelah perang koran.
Yang item namannya Ahmad Sari, yang merah namanya Dita
Nih, habis rekonsiliasi

Foto sama panitia YIPC di Maha Vihara Mojokerto
Budha tidurnya keren banget


PS: Jauh dari rumah, jauh dari teman lama, jauh dari rutinitas kebiasaan emang mengasyikkan. Tapi, beneran, nggak bakal ada tempat satupun di dunia ini yang bakalan bisa nggantiin rumah. Artikel ini ditulis saat kangen rumah.

Rabu, 11 November 2015

Ngadas, Desa Romantis di Atas Awan


Indonesiaku, multikultural katanya.
Kaya akan budaya, bahasa, adat, dan agamanya.
Penduduknya percaya sekali dengan surga dan neraka.
Namun, kadang yang kulihat bukan ibadat mereka.
Tapi saling berperang tentang surga siapa.
“Itu dongeng kan, Kak. Bukan nyata?”, tanya mereka.
           
 Pada mana aku tak takjub, kalau mereka yang hidup dalam kesederhanaan bisa sedalam amat memegang teguh toleransinya. Harus dengan cara apa lagi aku mengagumi, sekelompok penduduk yang menamai diri mereka Suku Tengger, dengan pipi merah, mata coklat bening, dan alis tebal yang khas. Dikurung dinginnya udara dari pagi sampai malam hari pun, namun mampu hidup dalam dalam hangatnya toleransi dan tenggangrasa yang begitu dijunjung tinggi. Merekalah penduduk, petani, pengojek pupuk, pengepul kentang, pemandu wisata, penjual edelweis dari desa sebuah tertinggi di pulau Jawa, Ngadas.
            Sudah satu tahun ini, aku mengenal desa ini. Tepat 8 November, tahun lalu, aku bersama teman-teman dari gerakan UMengajar menginjakkan kaki pertama kali di tempat ini. Aku masih ingat, satu rombongan kami sampai di tempat ini sudah menjelang isya, sehabis hujan. Dingin, sudah pasti. Terlihat beberapa anak berbaris di teras tempat kami akan menginap malam itu. Sungguh, itu sambutan terhangat dari anak-anak yang pernah kutahu. Aku pun terusik penasaran, akan nama mereka, dan mengapa sengaja berdiri di tempat itu. Jawabnya sungguhlah haru, mereka menunggu para kakak yang esok hari akan menemani mereka belajar dan bermain.
            Malam menjelang, heater-heater kami sudah terisi air dan dinyalakan, untuk sekedar mengisi dan menghangatkan perut sambil demo pembelajaran untuk esok hari. Larut dalam tawa diiringi dengan kremesan mie instan goreng yang masih mentah lengkap dengan bumbunya untuk santapan ternikmat ala-ala anak survival kekinian. Larut malam Ngadas pun, sanggup membuat kami bertahan tidur beralaskan lantai dengan suhu yang bisa dikatakan ‘dingin keterlaluan’. Dan aku merasa beruntung, bahwa dalam melakukan hal-hal romantis di tempat yang romantis itu, aku tidak sendiran.
Orang-orang Tengger
            Dan 7 November tahun ini, tepat satu tahun aku mengenal Ngadas. Tapi ya entah sejak kapan, aku jatuh cinta pada tanah romantis ini. Tanah yaang penuh dengan segala doa-doa kebaiakan dari tiga agama yang hidup berdampingan. Tanah yang dipenuhi harapan-harapan, yang kelak akan lahir dan besar dari sebuah sekolah sederhana bernama SDN Ngadas 1 dan SMP Satu Atap. Karena bagiku masih sama, bahwa sekolah adalah ladang setiap pengharapan baik. Baik dari guru, orang tua, pimpinan adat, dan boleh jari kami. Sekumpulan mahasiswa yang belum sepenuhnya hadir dalam motivasi setiap anak-anak yang kami dampingi proses belajarnya, setiap sabtu, setiap minggu.
            Mungkin tidak berlebihan jika suatu hari, aku ingin meletakkan gambar Desa Ngadas, orang-orang Tengger lengkap dengan sarung-sarung untuk menghangatkan badan mereka, dan ladang-ladang kentang yang membentang di dalam rumahku kelak. Entah berlebihan atau kurang, jika cita-citaku mengenalkan Ngadas pada orang-orang di luar sana atau sekedar meyakinkan banyak orang tentang eksistensi ciptaan Tuhan di tanah yang berada di ketinggian 2200 di atas permukaan air laut Malang. Atau bisa saja, mereka yang masih sering membeda-bedakan, radikal, apatis, bahkan intolerant sebentar saja ditolehkan kepalanya, sekedar melihat dan belajar bagaimana 2000 orang di desa itu hidup dalam keharmonisan.
Siswa Ngadas

Sabtu, 17 Oktober 2015

Kolase Cerita Mencari Berita #1


               Di jaman serba ‘smart’ kaya sekarang ini, berapa sih jumlah orang yang nggak punya hape berkamera, kamera canggih, handy camera, dan alat-alat elektronik lainnya? Udah ketebak. Pasti kalaupun ada, bisa dihitung pake jari. Ya kalau nggak jari tangan, ya nambah jari kaki. Hee. Kita hidup di zona nyaman pake banget. Tapi, kadang kita lupa sama kenyamanan apa yang kita udah miliki. Kita main kesana kemari. Hang out sana sini. Foto selfie sampai wefie. Tapi pernahkah kita berfikir apa yang kita bagi ke media sosial itu udah worthy apa belum? Aku kadang juga masih suka salah niat sih. Iya. Normal. Kita semua manusia, ayo berbenah. Peace. Intinya postingan hari ini itu aku mau sedikit berbagi ke teman-teman semua soal posting video di NET TV yang bener-bener lagi hits banget. Kita nggak boleh jadi manuisa telat gaul yee. Hehe
            Awal singkatnya Rabu (14/10) kemarin aku lagi ikutan rapat persiapan pengabdian volunteer batch 3 UMengajar di Taman Kunang-Kunang. Rapat dimulai jam 7. Guwenya sampai jam 8. Jangan ditiru yang ini. Setelah rapat kita nggak langsung cabut, selain masih ngehabisin ciki-ciki ‘tak bertuan’, kita juga lagi keseruan cerita soal pengalaman pengabdian. Semilir angin Taman Kunang-Kunang emang asik banget buat geguyuban. Jarum jam udah mau nyentuh angka 9 Rabu pagi itu, aku, Andrea, Ainy, sama Nailah ngelihat beberapa rombongan lagi atraksi tepat di Jalan Semarang, depan kampus kita UM, bukan UNM. Aku loncat-loncat girang, pikiran langsung cepat mengarah ‘ini bagus buat berita’, tapi kalau nulis jelas nggak valid karena aku nggak tahu ini panitia kegiatan siapa dan lagi dimana tuannya ini. Aahaha
            Mata langsung ngelirik ainy yang pagi itu pake jilbab pink dan sumpahooon dia pake lipstik warna senada jilbabnya yang bikin aku pengen muntah sambil ngakak. Ya, gimana ya, begal sumatra kayanya emang lagi jatuh cinta. Ups, alesan kenapa ngelirik ainy karena dia yang punya hape dengan kamera yang kualitasnya bisa dibilang lumayan. Aku pinjam hapenya dan bilang ke Andrea, Ainy, dan Nailah, “Ayo bikin video Citizen Journalism, ntar dikirim ke NET TV.” Aku bilang pake semangat empat lima. “Dibayar nggak, mbak?” Nailah nyeletuk pake wajah versi bendahara. Sumpah agak gemes kalau apa-apa harus diawali dengan “Ada uangnya nggak, ada sertifikatnya nggak, dsb.” Ya tapi nggak apa-apalah, semua adalah soal prespektif. Ini hidup. Nggak ada uang nggak makan. Nggak makan ya mati. Udah ah blah blah blahnya. Ayok bikin video biar kita nggak sekedar hidup dan buang air besar doang. Ini caranya;

1. Rekam Kejadian atau Sesuatu yang Menurut Kamu Patut Diberitakan
            Kadang kita suka nggak percaya diri saat hendak memosting sesuatu. Kita suka bingung apa ya yang mau diposting. Nah, ini juga sama kaya yang aku alamin beberapa waktu lalu. Masalah ini muncul juga karena emang akhir-akhir ini kurang piknik, jadi nggak punya topik berita. Terus kemarin sempat liat di website netcj.co.id itu ada video of the week yang nampilin hal yang mungkin nggak dipikirin banyak orang, judulnya semrawutnya kabel di ibu kota. Emang jempol banget idenya, cuma modal ambil hape pasang kamera dan rekam keadaan lingkungan sekitar (re: kabel semrawut) udah bisa dijadiin berita. Sekarang coba ingat-ingat hal apa yang patut dikritik, dilihat, dibenahi, diberitakan, atau dipamerkan dari daerah terdekat kita? Udah ada?
            Nih, juga buat yang lagi gandrung sama acara ngetrip ala ala my trip my adventure gitu bisa banget bikin video tentang daerah wisata yang lagi dikunjungi. Nggak harus berupa kritikan namun juga bisa berupa saran untuk tempat liburan yang menarik. Coba sekarang buka file photo jalan-jalan yang mungkin ada di hape, leptop, harddisk, atau masih nyaut di kamera kita. Berapa banyak tempat yang udah kita kunjungi? Berapa cerita perjalanan yang udah kita tulis? Nah, lusa, waktu kita sibuk foto pake hastag explore ini, trip sana sini, atau apapun, ayo sempatkan nulis cerita atau bikin video yang bisa dijadiin berita. Eh, tapi jangan lupa juga buat mensosialkan “bawalah sampahmu kembali”ya, biar ntar wisata kita tetap bersih dan asik buat dikunjungi.
            Emang sih, pada intinya kita kudu ngelatih kepekaan kita sendiri buat ngebuka hati dan pikiran kalau apapun yang ada di sekitar kita itu penting dan patut banget diberitakan. Contoh berita yang bakal ‘laris manis’ itu yang masuk rubrik moment, culinary, travelling, contoh kemarin itu kaya yang aku posting soal festival budaya, peringatan hari besar seperti 1 Muharram kemarin, atau yang masuk dalam rubrik moment kaya ada kebakaran di tamrin kemarin, itu pasti bakal cepet di approved, soalnya kalau lama ya bakal basi dan nggak up to date. Pokoknya siapkan kamera seadanya saja, bisa hape dengan kualitas 5 Mpixel itu udah lumayan kok. rekam kejadian selengkapnya dan shot yang paling menarik dan penting aja.   Karena durasi di TV ntar Cuma 1,5-5 menit aja.
2. Potong atau Edit Video

            Kalau tadi udah ngerekam video, potong video sesuai selera tapi jangan asal. Pastikan video yang bakal diunggah itu menunjukkan kejadian yang kita maksud dengan jelas dan bagus. Kalau aku biasanya ngerekam itu kejadian sama milih seorang narasumber (optional), terus entar digabung pake aplikasi movie maker. Oiya, untuk unggah video ke NET CJ itu formatnya .avi ya, jadi misal video temen-temen masih .mvi, langsung aja pake aplikasi Format Factory buat nge-convert video, selain mudah aplikasi ini juga lumayan cepet kok.

3    3. Buat Akun di netcj.co.id
            Nah, untuk bisa unggah video kita kudu bikin akun resmi di website NET CJ, klik aja netcj.co.id dan sign up. Bisa juga sign up lewat FB, Twitter, maupun Google+. Gampang banget, hampir sama kaya bikin akun sosmed pada umumnya.


      4. Unggah Video
            Nah, kalau udah punya akun, bisa langsung upload video tadi dan tulis narasi pendek aja sekitar 30-50 kata aja yang nggambarin kejadian yang lagi kita liput, jangan terlalu panjang karena crew CJ nggak bakal mau ngedit banyak-banyak. Jangan lupa sertakan judul yang menarik, pilih lokasi kita, dan tulis hastag sebanyak-banyaknya biar video kita reachable gitu.

5     5. Tunggu Konfirmasi
            Niat kita upload berita kan memang buat dimuat di NET TV #NET10, kita nggak bakal dikonfirmasi soal penayangan lewat email atau apapun, wal hasil, kitalah memang yang harus kepo. Bisa kepo di akun twitternya @NET_CJ atau langsung cek akun CJ kita di web tadi. Akan ada tiga menu utama di akun profil kita ntar; DRAFT, VIDEO ON WEB, dan VIDEO ON TV.

Jadi ini sedikit penjabaran soal tiga menu utama tadi berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi aku:
a)      Draft
Dari namanya aja udah kebayang apa itu draft. Yap, ini adalah tahap awal video yang kita unggah. Kalau pake kata lain, draft ini bakal berisi berkas video yang kita unggah sebelum di approved sama pihak NET CJ. Video kita bakal ada di menu ini selama dia masih belum di approved. Kita kudu rajin ngecek status si video yang tercantum di bawah frame video itu sendiri. Kalau statusnya ‘Waiting to be published’ itu berarti video kita layak masuk website nya NET dan nunggu jadwal antre tayang, tapi kalau video kita masih berstatus ‘waitung to be approved’, itu berati ada dua kemungkinan, satu emang belum diapproved, mungkin video kita emang nggak layak publish. Sabar aja, belajar itu emang kudu gagal dulu biar tampah paham. Video pertamaku yang ngeliput soal Malang Flower Canival sejak 30 Agustus gagal, nggak dapat approvement sampai sekarang, nah baru video kedua ini berhasil.


b)      Video on Web
Web yang dimaksud disini ya webnya NET CJ, video kita yang diapproved bakal otomatis pindah dari DRAFT ke menu ini. Jadi, please, jangan kampungan lagi kaya aku yang sedih histeris waktu ngecek draft dan video ku hilang satu. Hehe. Di tahap ini juga, video kita udah bisa dilihat sama orang lain yang punya akun CJ dan siapapun yang buka link video tersebut. Ada tombol buat like-nya juga kaya instagram gitu, ada pula jumlah viewer kaya di YouTube gitu. Nah, semakin banyak like dan viewer berarti semakin worthy lah berita yang kita liput. Ilmu mutlak gitu lah.




 c)      Video on TV
Ini dia tahap yang paling ditunggu, pas video kita tayang di NET TV, nama kita bakal muncul jadi salah satu jurnalis warga dan akan tayang di NET 10 sesi Citizen Journalism. Video kita bakal muncul di beranda website resmi NET CJ.



Gimana? Seru kan kalau kita bisa berkarya, apalagi sambil main dan manfaatin hape pintar kita. Ayo share video dan cerita perjalananmu yang menurut kamu cukup beken buat jadi liputan.

Minggu, 11 Oktober 2015

Eloknya 4 Danau dengan Warna Berbeda di Tulung Agung

Citizen6, Tulung Agung Harta dari dalam Bumi Tuhan tak ada habisnya membuat takjub manusia. Di kawasan selatan Kabupaten Tulungagung, terdapat empat kubangan air dengan empat warna yang berbeda-beda: Merah, Hitam, Toska, dan Hijau. Kawasan Tulungagung secara geografis memang merupakan kawasan batuan kapur yang kaya minaral.
Sebelum terbentuk empat kubangan yang kini di kenal sebagai danau oleh warga sekitarnya, lokasi danau yang berada di kecamatan Kalidawir Kabupaten Tulungagung tersebut merupakan area penambangan nikel dan batu alam mineral lainnya. Karena kadar kimianya yang begitu tinggi, kubangan-kubangan bekas tambang yang terisi air hujan tersebut kemudian mengalami perubahan warna secara alami.

Di akhir pekan, danau empat warna ini ramai pengunjung dari sekitar kawasan Tulungagung. Pengunjung rata-rata merasa penasaran dengan warna alami yang indah di setiap kubangan tersebut. Meskipun bebatuan terjal dan jalan yang mendaki hanya setapak, hal terseut tidak menyurutkan niat pengunjung yang ini sekedar menikmati warna danau atau yang ingin berfoto di sekitar danau.Luas danau rata-rata sekitar 50 m2 dengan kedalaman yang belum di ketahui. Menurut salah seorang juru parkir, rata-rata pengunjung meningkat pada hari minggu atau pada hari kerja sore hari. Untuk memasuki wilayah yang masih berada di sekitar pemukiman warga ini, pengunjung tidak dipungut biaya masuk dan hanya membayar parkir sebesar Rp 3000,- sampai Rp. 5000,- saja.
Sayangnya, keberadaan danau empat warna yang sempat menggegerkan ini nyatanya menimbulkan pro dan kontra di lingkungan warga. Keberadaannya yang masih dikelola sekadarnya oleh penduduk sekitar menjadikan kesadaran akan kebersihan tempat wisata baru ini sangat rendah.

Akibat cuaca yang terik dan keberadaaan pedagang asongan yang menjajakkan makanan dan minuman di sekitar danau tersebut, menyebabkan banyaknya sampah terutama sampah dari botol air minum. Ditambah lagi dengan belum adanya penelitian tentang dampak jika terlalu lama berada di tampat ini sebab aroma dari batuan mineral yang masih sangat kuat, yaitu bau belerang.Kedepan, semoga masyarakat sekitar daerah wisata kian peduli dengan kebersihan area wisata dan pemerintah segera membuat peraturan untuk daerah wisata baru, baik peraturan mengenai kebersihannya, pengelolaan, maupun peninjauan tentang keamanannya.



Sumber: http://citizen6.liputan6.com/read/2317786/eloknya-4-danau-dengan-warna-berbeda-di-tulung-agung

Sabtu, 12 September 2015

The Age of Adeline: Pemahaman Baru

Percayalah, hidup itu akan menjadi indah saat kita mengikuti alur alam.
  
Iseng-iseng buka file di leptop dan nemu satu folder berjudul ‘belum nonton’, folder ini memag berisi film-film terbaru 2015 yang saya minta dari seorang teman baik, Gery. Starting is the hardest point of everything. Awalnya saya tidak tertarik melihat film ini karena kualitas gambarnya tidak begitu bagus. Lalu saya tidak sengaja klik kanan pada mouse saya dan sampailah saya pada satu scene dimana pemain utama mengalami kehidupan kembali setelah tersambar petir berkekuatan 500 juta volt. Kronologisnya adalah Adeline, tokoh utama dalam film tersebut mengalami kecelakaan tepat saat salju hari pertama turun di Somonia, malam itu.
            Kecelakaan tersebut menyebabkan Adeline jatuh ke dalam sebuah sungai dengan air yang beku beserta mobilnya, mobil Adeline ‘Della’ Bowman secara tiba-tiba tersambar petir berdaya tinggi dan tekanan dari petir tersebut mengenai jantungnya hingga membuatnya hidup kembali. Selayaknya di rumah sakit, seseorang yang detak jantungnya kian melemah akan diberi mesin pengejut jantung untuk memicu jantung pasien berdetak kembali. Tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Della, hanya saja karena kekuatan listrik dari petir yang sangat besar, menyebabkan Adeline tidak bisa menua secara fisik. Hal tersebut diterangkan dalam film yang berkaitan, bahwa berdasarkan prinsip Van Lehman tentang pemampatan elektron di DNA sel-sel Adeline menjadi kebal dan tidak lentur sehingga membuatnya tidak bisa menua. Dengan kata lain, usia Adeline telah berhenti sejak malam itu.
            Yup! Dari orientasi film tersebut sudah terang terlihat bahwa The Age of Adeline adalah film fiksi yang menyajikan hasil pemikiran cerdas manusai tentang perkembangan ilmu dan terknologi. Bagaimana bisa seorang Adeline yang lahir pada tahun 1901 tersebut usianya berhanti pada tahun ke 29 dan tidak dapat menua secara fisik? Cool! Di samping itu, film ini juga menyuguhkan kisah romantisme antara Adeline dan tiga laki-laki yang pernah hadir dalam hidupnya. Pertama adalah pertemuannya dengan seorang insinyur yang kemudian menikahinya hingga memiliki seorang putri bernama Femming. Sayangnya, 4 tahun kemudian ia meninggal dalam sebuah kecelakaan kerja di sebuah konstruksi jembatan. Kedua adalah William, mahasiswa sarjana kedokteran yang jatuh cinta kepadanya setelah kejadian ia ‘hidup kembali’ tersebut. William yang patah hati sebab kepergian Adeline mengenangnya dengan menamai satu komet hasil penemuannya dengan nama ‘Della’. Lalu, sekitar 70 tahun kemudian ia bertemu dengan Ellis, putra dari William, yang di akhir cerita menikahi Della.
            Di samping itu, The Age of Adelin mengajarkan manusia untuk menghormati karunia Tuhan yang abadi, yaitu perubahan. Seperti yang di katakan Adeline Bowman kepada Putrinya, Femming, mengenai hubungannya dengan Ellis. Adeline sungguh takut menaruh hati kepada laki-laki dan terus memilih untuk pergi dan bersembunyi. Itu semua ia lakukan karena Adeline takut hidup bersama seseorang dan tidak dapat merasakan perubahan bersama-sama. Tidak dapat menua bersama-sama. Adeline tidak bisa menua sebab selnya yang kebal dan tidak lentur. Ironinya, saat kebanyakan perempuan berlomba-lomba untuk membeli krim anti-aging dengan merogoh kocek dalam-dalam. Adeline mengajarkan bahwa tumbuh menua adalah hal yang justeru sulit ia dapatkan. Ketika semua wanita disibukkan dengan rambut mereka yang mulai memutih, Adeline justeru merindukan munculnya uban di rambutnya yang tetap pirang selama 70 tahun. The Age of Adeline juga mengajarkan kita untuk terus dan selalu bersyukur atas segala hal yang terjadi secara natural. Sesuatu yang alamiah, sebab yang alamiah adalah yang terbaik dari Tuhan.
Pada intinya, film The Age of Adeline ini cukup recommended buat ditonton. Apalagi malam minggu seperti ini :)
 kejutan listrik yang mengenai mobil Adeline dan akhirnya membuat jantungnya berdetak kembali

Adelin dan Putrinya yang tampak jauh leih tua, Femming.


Selasa, 25 Agustus 2015

Pembangunan Karakter Islami Melalui Sekolah Alam Bilingual.

Sekolah dasar adalah sekolah yang dianggap pendidikan premier bagi anak-anak, sebab pada tahap pendidikan ini anak-anak mulai belajar banyak hal secara formal. Banyaknya sekolah dasar baik negeri dan swasta kerap kali masih menjadi alternatif yang dinilai aman bagi orang tua untuk menyekolahkan putra-putrinya. Namun, tidak ada salahnya jika kita lebih banyak tahu mengenai sekolah satu ini. Yap! Sekolah alam yang bernama Madratsah Islamiyah Bilingual Al Ikhlas atau MIBA ini menawarkan konsep pendidikan yang berbeda. MIBA yang terletak di kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang ini memiliki misi pembangunan karakter melalui alam dan pelajaran dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
 
Yang menarik dari sekolah ini adalah bangunannya yang terletak sedikit jauh dari pemukiman warga dan tepat berada di pinggir persawahan. Bangunan kelas sebuah sekolah pada umumnya berbentuk panjang dengan ruang-ruang yang dibedakan untuk setiap kelas, namun berbeda dengan sekolah ini. Bangunan sekolah MIBA lebih terlihat seperti tempat makan lesehan bertemakan alam. Kelas-kelas berbentuk seperti gazebo dengan separuh dinding bata merah dan setengahnya terbuka. Siswa tidak duduk di kursi namun duduk dilantai karpet. Ruang belajar alam ini tidak berdiri melekat satu sama lain setiap kelas, melainkan berjarak sekitar empat meter tiap kelas.

Siswa siswi di sekolah alam ini sejumlah hampir 150 siswa. Kepala sekolah mengaku sengaja membatasi jumlah siswa di setiap kelasnya yang hanya terdiri dari 20 hingga 25 siswa. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kualitas pengajaran yang baik di setiap kelasnya. Di samping itu, hubungan antara siswa dengan guru haruslah dekat sebagaimana guru merupakan orang tua kedua bagi anak. Upaya yang dilakukan oleh sekolah ini dengan menggunakan panggilan akrab kepada bapak dan ibu guru. Siswa-siswi di sekolah ini tidak memanggil bapak/ ibu guru melainkan dengan sebutan ayah/bunda. Kesan harmonis pun sangat kental terasa.

Konsep pembelajaran yang ditawarkan di sekolah alam ini juga tidak kalah menarik. Para siswa mendapat matapelajaran umum dan agama lengkap selama senin sampai jumat. Sedangkan hari Sabtu diisi dengan berbagai macam ekstrakurikuler; bahasa Inggris, Karate, Qiroah, Pramuka, dan menggambar. Siswa diberi kebebasan memilih ekstakurikuler mana yang mereka minati, kecuali eksta Pramuka yang memang wajib bagi seluruh siswa. Jam pelajaran di sekolah ini di mulai pukul depalan pagi. Namun siswa masuk ke sekolah mulai jam tujuh pagi untuk melaksanakan sholat Dhuha bagi siswa kelas 4,5, dan 6. Sedangkan siswa kelas 1, 2, dan 3 menghafalkan hadis-hadis pendek dan doa sehari-hari. 

 1) Ekstrakurikuler Bahasa Inggris 
2) Kondisi ruang kelas V MIBA

© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law