Rabu, 11 November 2015

Ngadas, Desa Romantis di Atas Awan


Indonesiaku, multikultural katanya.
Kaya akan budaya, bahasa, adat, dan agamanya.
Penduduknya percaya sekali dengan surga dan neraka.
Namun, kadang yang kulihat bukan ibadat mereka.
Tapi saling berperang tentang surga siapa.
“Itu dongeng kan, Kak. Bukan nyata?”, tanya mereka.
           
 Pada mana aku tak takjub, kalau mereka yang hidup dalam kesederhanaan bisa sedalam amat memegang teguh toleransinya. Harus dengan cara apa lagi aku mengagumi, sekelompok penduduk yang menamai diri mereka Suku Tengger, dengan pipi merah, mata coklat bening, dan alis tebal yang khas. Dikurung dinginnya udara dari pagi sampai malam hari pun, namun mampu hidup dalam dalam hangatnya toleransi dan tenggangrasa yang begitu dijunjung tinggi. Merekalah penduduk, petani, pengojek pupuk, pengepul kentang, pemandu wisata, penjual edelweis dari desa sebuah tertinggi di pulau Jawa, Ngadas.
            Sudah satu tahun ini, aku mengenal desa ini. Tepat 8 November, tahun lalu, aku bersama teman-teman dari gerakan UMengajar menginjakkan kaki pertama kali di tempat ini. Aku masih ingat, satu rombongan kami sampai di tempat ini sudah menjelang isya, sehabis hujan. Dingin, sudah pasti. Terlihat beberapa anak berbaris di teras tempat kami akan menginap malam itu. Sungguh, itu sambutan terhangat dari anak-anak yang pernah kutahu. Aku pun terusik penasaran, akan nama mereka, dan mengapa sengaja berdiri di tempat itu. Jawabnya sungguhlah haru, mereka menunggu para kakak yang esok hari akan menemani mereka belajar dan bermain.
            Malam menjelang, heater-heater kami sudah terisi air dan dinyalakan, untuk sekedar mengisi dan menghangatkan perut sambil demo pembelajaran untuk esok hari. Larut dalam tawa diiringi dengan kremesan mie instan goreng yang masih mentah lengkap dengan bumbunya untuk santapan ternikmat ala-ala anak survival kekinian. Larut malam Ngadas pun, sanggup membuat kami bertahan tidur beralaskan lantai dengan suhu yang bisa dikatakan ‘dingin keterlaluan’. Dan aku merasa beruntung, bahwa dalam melakukan hal-hal romantis di tempat yang romantis itu, aku tidak sendiran.
Orang-orang Tengger
            Dan 7 November tahun ini, tepat satu tahun aku mengenal Ngadas. Tapi ya entah sejak kapan, aku jatuh cinta pada tanah romantis ini. Tanah yaang penuh dengan segala doa-doa kebaiakan dari tiga agama yang hidup berdampingan. Tanah yang dipenuhi harapan-harapan, yang kelak akan lahir dan besar dari sebuah sekolah sederhana bernama SDN Ngadas 1 dan SMP Satu Atap. Karena bagiku masih sama, bahwa sekolah adalah ladang setiap pengharapan baik. Baik dari guru, orang tua, pimpinan adat, dan boleh jari kami. Sekumpulan mahasiswa yang belum sepenuhnya hadir dalam motivasi setiap anak-anak yang kami dampingi proses belajarnya, setiap sabtu, setiap minggu.
            Mungkin tidak berlebihan jika suatu hari, aku ingin meletakkan gambar Desa Ngadas, orang-orang Tengger lengkap dengan sarung-sarung untuk menghangatkan badan mereka, dan ladang-ladang kentang yang membentang di dalam rumahku kelak. Entah berlebihan atau kurang, jika cita-citaku mengenalkan Ngadas pada orang-orang di luar sana atau sekedar meyakinkan banyak orang tentang eksistensi ciptaan Tuhan di tanah yang berada di ketinggian 2200 di atas permukaan air laut Malang. Atau bisa saja, mereka yang masih sering membeda-bedakan, radikal, apatis, bahkan intolerant sebentar saja ditolehkan kepalanya, sekedar melihat dan belajar bagaimana 2000 orang di desa itu hidup dalam keharmonisan.
Siswa Ngadas
© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law