Minggu, 18 September 2016

The Letter to The Girl I used to be

Dear Emily,
Every time I watch baseball a voice
I no longer recognize whispers
“Ethan, do you remember?
When you were gonna be the first girl in the major leagues-
Seattle Mariners. Rally cap.”
To be honest, Emily, I don’t.
Dad told me that like it was someone else’s bedtime story.
But I know you had that drive,
didn’t let anyone tell you to wear shorts above your knees
didn’t care if boys thought your hair fell on your shoulders just right
but with girls
sleepovers meant the space between your shoulder and hers was a 6-inch fatal territory.
The year you turned eleven was the first time you said out loud
that you didn’t want to live anymore.
In therapy you said you wouldn’t make it to 21.
On my 21st birthday I thought about you,
you were right.
At nineteen you started to fade.
I tried to cross you out like a line
in my memoir I wished I could erase completely.
And maybe I’m misunderstanding the definition of death
but even though parts of you still exist you are not here-
most of my friends have never heard your name until now.
I’ve been trying to write this letter for six months.
I still can’t decide if it should be an apology or not.
But now you will never hear “Emily Smith” announced at a college graduation,
get married, have children.
I made the appointment,
to let a doctor remove your breasts so that
I could stand up straighter.
Now even if I somehow had those children,
I wouldn’t be able to nourish them.
My body will be obsolete,
scarred cosmetic, but never C-section.
I was four days late
they will never be grandparents
I was one week late
they will never hold their lover’s sleeping figure.
I was eleven days late
they will never breathe in a sunset and sunrise in the same night.
I was two weeks late
they will never learn to jump rope.
I was three weeks late
they will never shout “Watch Mommy! Watch me on the slide!
I was two months late.
A piece of us will never wrap their arms around our leg for comfort,
or just to keep them from falling down.
And I am, sorry,
that this process is so slow
and all you can do is wonder if you ever had a place.
You did.
You still do.
Don’t forget that.
Yours,
Ethan
p.s. I never hated you.



Contact: Ethan Walker Smith
Facebook: https://www.facebook.com/ethanwalkersmith
Twitter: https://twitter.com/ethanwalker_s
Instagram: http://instagram.com/ethanwalker_s

KALAU NABI MUHAMMAD MASIH HIDUP

Pagi ini, sengaja kumpul bareng teman-teman lintas agama di CFD Idjen. Niat ingsunnya sih, mau mengenalkan hari perdamaian internasional tanggal 21 September biar makin banyak yang tahu, saya pun juga baru tahu dan disisipin ngumpulin tanda tangan aksi damai. That's all.
Di tengah-tengah aksi meminta tanda tangan, saya melihat dua teman kami berbincang dengan pengendara sepeda, lengkap dengan jaket olah raga, topi, celana jeans selutut dan sepatu olah raga. Awalnya saya rasa biasa, semua orang sudah lalu lalang di spot kami. Dua teman saya tadi belum juga selesai berbincang dengan si bapak pesepeda. Saya perhatikan diskusi mereka serius, saya lebih perhatikan lagi, si bapak ini raut wajahnya alim dan damai sekali. Pikir saya pendek setelah sekilas melihat kumis dan jambang panjang beliau. Tapi kok saya penasaran sekali, kenapa bapaknya tidak lekas memarkir sepedanya dan memberi tanda tangan atau paling tidak mendekati kerumunan kami yang hanya berjaran sekitar 2 meter dari tempat beliau berbincang dengan teman-teman saya dan dalam posisi masih duduk di bangku kemudi sepeda.
Dua teman saya lalu kembali menghampiri kami dengan membawa kertas nampak ada alamat email di tulis dengan spidol warna merah. Mbak Teddy, salah satu teman saya bercerita hal yang menurut saya menarik. Bapak fulan tersebut kecewa dengan aksi kami, sebagai muslim tidak seharusnya bukan seperti itu cara berdakwah. Memang kebetulan dua teman saya tadi memang muslim dan berjilbab. Lanjut si Bapak, "Jika Nabi Muhammad masih hidup, apakah beliau akan melakukan hal yang sama seperti kalian? Bukankah melihat berhala saja seketika langsung dihancurkan. Saya tidak akan tanda tangan, saya takut dicatat, bahkan pembicaraan kita pun sekarang sudah direkam."
Dua teman saya tak lantas marah, mereka hanya menyampaikan terimakasih dan si bapak pergi lagi dengan sepedanya, keliling kota.
Saya lantas berfikir bagaimana seandainya Nabi Muhammad masih hidup dan berada di tengah-tengah kita sekarang? Bagaimana seandainya Nabi Muhammad masih hidup dan dan berdakwah di tengah-tengah agama-agama lain yang juga berkembang?
Tapi saya yakin, Nabi Muhammad tak akan mengharamkan sepeda dan mendingan onta, melarang pake jeans dan parka karena itu buatan amerika, lebih berpahala pake jubah atau gamis saja, car free day itu bidah, mendingan solawat saja.
Sebagaimana kemampuan saya mengingat bacaan jaman SMP, Nabi Muhammad adalah orang pertama dari 100 tokoh paling berpengaruh berdasarkan tulisan Micharl Hart, jauh dari urutan Hitler yang juga masuk dalam 100 tokoh tersebut. Saya percaya, dakwah Nabi akan jauh lebih lembut dari yang saya duga.
Saya menulis ini bukan hanya karena saya muslim, tapi karena saya manusia.

Kamis, 08 September 2016

Tak Lagi Jadi Peran Utama



Saat aku menghitung-hitung kegagalanku sendiri, aku kehilangan arahku untuk mengumpulkan pecahan motivasi. Jalanku terasa buntu saat aku hanya diam mengutuki kelemahanku. Sejuta keinginan yang kupenuhi dengan keraguan itu mondar-mandir di kelopak mataku. Siapa yang menyangka, lulus menjadi sarjana ternyata justeru waktu itu ku sebut jadi beban baru, hidup penuh dengan tuntutan ini itu, menikah, memiliki pekerjaan yang layak, membiayai hidup sendiri, seakan menjadi tolok ukur hidup yang berembel-embel sarjana kini. Saat beberapa keberanianku terkumpul, aku mencoba lemparkan lamaranku di sana-sini. Berharap nasib baik menghampiri. Namun, justeru pekerjaan yang kini ku dapat dan ku geluti bukan yang dengan bayangkan selama ini.
Setelah aku berkeluh soal ini itu, seorang teman baik menawarkan pekerjaan, mengajar di sekolah dasar, mendengar tawaran itu, aku ragu-ragu, “Mampukah aku?” Tidak buru-buru iya ku. Hari pertama mengajar pun masih terasa begitu berat untukku, suara harus selantang adzan dan fisik harus mau berkejar-kejaran. Hari kedua dan ketiga mengajar di sekolah rasanya begitu berat, selain jarak tempuh yang jauh, stamina sudah ku kuras keras-keras pada hari sebelumnya. Hari keempat, suhu tubuhku sedikit naik, tenggorokan gatal, dan punggung terasa nyeri. Aku sungguh takut deman tiba-tiba dan tak bisa bekerja lagi hari ini. Aku putuskan membeli madu*asa dan anta*gin untuk memulihkan tenaga beberapa lagi. Hari ini aku mengajar di kelas baru, belum pernah kuajar sebelumnya, seorang anak mencuri perhatianku. Ia duduk sendirian di bangku siswa yang seharusnya berisi dua siswa itu. Aku masih melanjutkan pelajaranku, karena kelas sudah mulai gaduh meminta permainan ini itu. Tiba-tiba seorang siswaku maju menghampiriku dan dan menunjuk-nunjuk siswa yang kuperhatikan sejak tadi itu, ia mengadukan kepadaku siswa itu memukulinya. Aku pun memutuskan untuk menghampiri. Aku sama sekali masih memperhatikan ciri khusus yang dibawa anak itu. Seorang siswa lagi melontarkan kata yang cukup membuat saya pilu, “Bu, dia emang sering gitu, dia itu anak autis, dia anak inklusi.” Terbelalaklah aku, Tuhan, aku tak siap dengan ini. Ku kira pendidikan inklusi juga harus dilakukan oleh guru-guru yang eksklusif, bukan pembelajar seperti aku. Setelah jam pelajaran usai, wali kelas dari kelas yang baru ku ajar menghampiri, sembari menceritakab banyak hal dan memberi motivasi; sepulang itu aku putuskan membaca beberapa ulasan dan mengunduh vudeo tentang pendidikan inklusi. Jika saja aku memutuskan berhenti kemarin, mungkin aku tak perbah belajar dan tak sebersyukur ini. 
Saat aku mengilas balikkan segala yang kudapat hari ini dengan setiap kegagalan yang aku tangisi, rasanya aku menjadi manusia paling bersalah di muka bumi. Kusimpulkan, hidup penuh dengan kesempatan kedua, meskipun bukan aku lagi yang menjadi pemeran utama. Tapi biarlah aku menjadikan kegagalan hidupku yang menjadikan keinginanku untuk memenangkan kehidupan orang lain. Mengantarkan mereka setidaknya menuju titik dimana harapan mereka untuk menang dalam setiap kehidupan begitu terang bederang.
© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law