Minggu, 28 Juni 2015

Surat untuk Rumah


Saya tidak tahu apa yang saya lukan ini benar atau salah. Yang saya tahu hanya, saya harus melakukan ini.
            Sejak pertama terpilih di kabinet terbaru saya menjadi bagian dari sebuah divisi yang saya kira ‘vital’. Divisi ini berada di bawah naungan Menteri Keorganisasian. Saya dipercaya mengabdi selama satu tahun ke depan bersama dua sahabat yang kalau dibandingkan cukup berkebalikan. Salah seorang memiliki pengalaman organisasi nol, sedang seorang lagi aktifis kampus dengan berbagai organisasi yang ditembus. Saya? Saya mah apa atuh! Pendidikan di sekolah dasar yang saya tempuh di sekolah “pengalaman organisasi” pun cukup menggambarkan siapa diri saya. Saya orang yang miskin pengalaman pula.
            Kalau banyak orang mengira saya aktifis, sebenarnya salah! Saya hanya pernah aktif di organisasi intrasekolah, paling banter juga menjadi ketua osis dan ketua majlis ta’lim semasa sekolah. Kalau toh lagi dirasa pengalaman menjadi ketua osis itu sudah cukup menjadi modal, salah pula. Saya adalah ketua osis sekolah pinggiran yang usia sekolahnya saja belum genap 15 tahun. Saya mencari dan terus mencari, sampai menuju masa kuliah saya sempat mundur dari pendaftaran himpunan mahasiswa jurusan dan tawaran menjadi dewan mahasiswa fakultas dengan alasan yaitu pribadi ketidakcocokan terhadap iklim politik fakultas. Lalu, bertemulah saya dengan rumah. Klik di hati. Hehe abaikan.
            Awal mula saya menulis curhatan ini adalah solat subuh pagi ini. Sejenak setelah solat, saya ingat apa niat awal saya di rumah. Di samping keinginan move on, saya juga ingin belajar rupanya. Belajar menjadi pribadi yang berbeda, lebih tangguh, dan berjiwa sosial. Itu. Sampai pada titik dimana saya menjadi bagian penting dari organisasi ini, saya yang kosong terus menuntut diri untuk belajar benyak hal. Tentang organisasi, tentang pribadi orang lain, tentang pandangan hidup, sampai tentang jati diri. Terus.
            Percayakah kamu akan teori lama ‘bahwa hutan mampu menyibak watak asli seseorang’? Anggap saja organisasi ini adalah hutan, bayangkan saat kita semua dilepas di alam liar, dan belantara dimana kamu dituntut untuk bertahan pada alam. Tempat dimana kamu hanya punya Tuhan untuk bergantung, karena boleh jadi orang-orang disekitarmu bisa saja mendadak kanibal saat mereka kelaparan. Bukankah urusan manusia hanya sedekat isi perut dan buang air? Atau jongos dan babu? Tidak ada tuan disini, teorinya sih begitu. Iya, hutan benar-benar mampu mengungkap watak asli seseorang. Lihat saja, siapa yang paling santer berjuang dengan takut-takut, yang munafik, atau yang kanibal sekalian. Yang kamu kira baik belum tentu baik. Yang kamu kira polos belum tentu juga begitu.
            Pesan singkat yang mungkin bisa jadi pedoman untuk bertahan pada belantara ini. Percayalah pada dirimu sendiri. Lakukanlah semua hal dengan penuh pertimbangan karena boleh jadi kamu akan menjadi korban catatan merah di belakang. Kamu harus melakukan semuanya dengan baik, tidak perlu banyak orang yang tahu meski kamu mungkin terluka, tersandung batu, atau terjebak ranjau dan harus melepaskan diri sendirian. Bukankah di hutan itu kadang gelap? Tidak perlu banyak orang yang tahu apa yang sudah kamu kerjakan kala gelap. Bagi siapa saja yang miskin pengalaman hidup liar seperti ini, lebih baik jangan mengadu sana sini. Belajarlah dari alam yang tidak pernah mengadu saat kekeringan atau mengeluh saat hujan tak juga reda. Jangan pula profokatif tapi munafik. Menyalahkan satu orang, namun justeru datang padanya kala butuh. Bekerjalah, berbuat baiklah. Kelak saat kita tak lagi ada, entah karena suatu apa, semua akan tahu apa yang sudah kita kerjakan dalam gelam dan saat sendiri.

Kamis, 04 Juni 2015

Power Rangers Go to Jakarta #Edisi Bekasi



         Minggu, tiga hari setelah bertemu Mas Mikael dan Trikur yang super baik, kami berlima, aku, Dhika, Hanis, Oki, dan Lalank, dikenalkan Tuhan pada orang yang super duper baiknya. Bang Sholikhin, kami panggil Bang Sol, dia anak rantau Jakarta asli Tuban, jadi well, kita nyambung sekali kalau mengobrol soal Jawa Timur, dia yang sedia menunjukkan kami beberapa hal menarik soal Jakarta, setia sekali menjadi tour-guide kami mulai dari Depok, ke Jakarta Timut, lalu ke Jakarta Barat untuk menemani kami di Monas, Masjid Istiqlal, Museum Sejarah Jakarta, kota Tua. Belum cukup disitu, Bang Sul juga yang saat itu menjadi orang di balik photo-photo gila kami selama di Jakarta, lebih dari itu, kita berlima atau sebut saja ‘Power Rangers’ adalah pelaku utama yang menghabiskan saldo kartu Trans Jakartanya Bang Sul sebelum akhirnya Hanis membeli kartu Flash BCA untuk naik busway. Belum lagi, tiga laki-laki kami yang aku dan Dhika sebut ‘Three Mas Ketir-Ketir’ sudah menginap semalam di kontrakan Bang Sul, tepat setelah acara Konferensi Gerakan Mengajar selesai. Bahkan setelah rela-rela menjadi pendamping kami selama di Jakarta, kami sempat di ajak ke kontrakkan Bang Sul yang terkenal lebih barsih dari kontrakkan wanita sekalipun, iya suwer bersih gilak disana, kita makan malam di kontrakan beliau, ups aku panggil beliau karena Bang Sol memang senior kami berlima, ia sedang berjuang skripsi sekarang, doakan cepat lulus ya, amin. Orang-orang baik akan bertemu dengan orang baik.
***
          Jakarta rupanya bukan sekedar sampah atau cuacanya yang panas, kami sempat mengunjungi beberapa tempat menarik di sana, ada Museum Sejarah Jakarta yang jika masuk kita harus berganti sandal warna jingga lucu yang bagian bawahnya halus sekali, sedang di bagian injakkannya bertuliskan ‘Enjoy Jakarta’, kami berenam, kini ada Bang Sol, saudara kami dari Tuban yang kuliah di UNJ, saudara yang seperti bapak sendiri, hihi. Museumnya berarsitektur Hindia Belanda dengan warna dasar putih bersih. Tempat kedua adalah Museum Wayang, ini lebih kece lagi karena koleksinya lumayan banyak, mulai dari wayang golek, wayang sunda, wayang Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan tersedia beberapa karekter dalam ‘si Unyil’ yang mashyur itu. Karena waktu yang cukup mepet, kami langsung cabut ke Museum Seni dan Keramik Jakarta, tepat di depan kompleks Museum Wayang dan Museum Sejarah Jakarta, Disana kami disuguhi beberapa karya seni luar biasa. Sempat mengambil beberapa photo saja, lalu kami solat Dzuhur disana. Segera mungkin kami harus tiba di Monas sebelum jam 3 sore, karena jam 3 sore gerbang menuju puncak monas akan ditutup, kami berenam naik busway menggunakan saldo kartu Trans Jakarta milik Bang Sol, lagi-lagi.
           Monumen Nasional, aku masih tidak percaya sudah di Jakarta, kami sempat mengabadikan beberapa moment dan makan es krim disana, dari lapangan Monas semua yang terlihat adalah gedung-gedung tinggi pencakar langit, beda dengan di Malang, apa yang ku lihat biasanya adalah gunung tinggi menjulang. Perjalanan lanjut ke Masjid Istiqlal, lumayan jauh di kaki, tapi dekat di mata, kami melewati kedai Es Krim legendaris di Jakarta, Ragusa Es Krim Italia, sayang kami belum sempat mencobanya.

          Setalah solat ashar di Masjid kebanggaan warga Jakarta, Bang Sol siap menjadi photographer andalan kami, wew, semangat apa yang ada dalam hati orang yang baru mengenal kami dalam waktu sehari semalam itu, subhanallah. Karena lelah, dan kita harus pindah ke Bekasi yang jaraknya satu jam dari tempat kami sekarang, langsung saja kami mengikuti arahan Bang Sol untuk segera menuju kontrakkannya di Jakarta Timur dan mengemasi barang-barang Three Mas Ketir Ketir di sana, oke then, kita menaiki busway, ada catatan khusus disini saat Oki jadi bahan tertawaan seisi busway saat ia tidak sengaja terlempar dari kursi belakang busway, aduh mbah hati hati, satu busway pecah rame gara-gara Oki. Sumpah ini kalau aku milih pulang kampung langsung deh. haha 
          Sampai di Jakarta Timur, Bang Sol nunjuk-nunjuk kampusnya yang emang kelihatan dari halte tempat kami turun. Ya, aku kira kontrakannya paling cuma lima menit aja dari kampus. Diajaklah kami masuk gang sempit. Belok kanan, lurus, muter, belok lagi. Ini kalau aku di tinggal udah jadi gelandangan beneran soale nggak tau arah. Lost. Kita beli makan di salah satu gang tadi, aku kira kontrakan bang Sol pasti nggak jauh-jauh amat, "Bentar kok, bentar lagi sampai." Kata Bang SOL menenangkan kami saat ngelihat Lalank udah melet-melet sama mau ngesot. Si Oki udah nggak kebaca lagi ekspresinya. Hanis entah udah kentut berapa juta kali sepanjang jalan di Gang tadi. Dhika sama aku cuma bisa saling bertatap sunyi.
          Kami makan malam di kontakkan bang Sol yang super duper bersih dan rapi, cukup setelah itu kami langsung naik mikrolet menuju stasiun Manggarai. Lagi-lagi bang Sul setia mengantar kami, bahkan sampai ke stasiun Bekasi.
***
Bekasi
            Kami menginap di rumah kerabat Chuzu, di sebuah kontrakan sederhana yang disewa saudara sepupu Ibu Dhika, kami berlima bermalam disana. Lalank seperti biasa tidak pernah menggunakan malamnya untuk tidur, Lalank, malam, dan kopi seperti teman dekat, selain Lalank, kami tidur lebih dulu karena lelah perjalanan, hanya saja karena jam 1 malam ada suara misterius aku dan Dhika bangun dan pindah ke tempat tidur Lalank, Oki, dan Hanis, tepatnya mereka tidur di ruang tamu sekaligus ruang melihat TV dengan kasur tipis, cukuplah untuk kami bermalam. Nah, disanalah kami menemukan jawaban dari mana suara misterius tadi berasal, rupanya Oki yang mengorok seperti bom atom mau pecah tapi sungkan -_- . Sungguh nadanya tidak bisa dicerna kata-kata, mulai dari 4/4 sampai nada tak beraturan Oki mahir sekali memainkannya.
          Aku, Dhika, dan Lalank justru asik bercerita soal beberapa hal termasuk pengalaman soal di UI, well, yang pasti masih diiringi korokan Oki yang pecah membahana tadi. Jam tiga pagi kuputuskan tidur di bawah kakinya hanis, karena tidak tahan panas jika harus masuk ke tempat tidurnya mbak Dar, saudaranya Dhika. Beberapa waktu kemudian, Lalank sepertinya menyusul tidur.
Aktivitas pagi kami setelah bangun langsung sarapan, mandi, dan packing. Hanis berulah seperti biasa, dia selalu paling terakhir untuk urusan kemas-kemas barang, padahal kami berempat sudah siap terbang, duh pak presiden! Mengenakan baju kebanggan UMengajar, kecuali Lalank, kami berlima berpamitan kepada Mbak Dar, lalu menyusuri pemukiman penduduk untuk sampai di ujung gang dan menemukan bus yang akan membawa kami ke Pasar Senen, sebelum mendapati mikrolet aku dan Lalank malah sibuk mencari stand penjual sop buah yang akhirnya ketemu tepat di depan Indomart di seberang halte tempat kami menunggu bus.

Ini foto-foto selama perjalanan dari Depok, JakPus, dan Bekasi.

Selasar Masjid Istiqlal 
Depan Masjid Istiqlal Jakarta Pusat

 
Power Rangers emang nggak pernah sukses photo bareng, Monas, Jakarta Pusat
Ini foto di depan Museum Sejarah Jakarta dan satu lagi foto di dalam Museum Keramik Kontemporer, Jakarta Barat
Pagi hari di sebuah rumah kontrakan di Bekasi
 

Rabu, 03 Juni 2015

Power Rangers Go to Jakarta #5/6




      
Setelah hampir dua jam lebih cuma bisa ongkang-ongkang nggak jelas di halte, terus lanjut nurutin insting buat mencari masjid, ketemu mahasiswa sastra yang gondrong, sampailah kita di depan gedung bergaya modern yang bertuliskan Perpustakaan Universitas Indonesia. Kalau aja ini gedung nggak ada tulisannya, aku sama Dhika udah ngira ini kalo nggak rumah kosmos yang tempat tinggal alien. Bentuk gedungnya keren banget kaya rumah teletabis raksasa. Atap gedungnya oval dan dipenuhi sama rumput hijau. Karena kita emang bener-bener buta UI, akhirnya tanya mas-mas penjaga sepeda kuning dimana letak masjid. Dari informasi yang kita dapat, masjid ada di belakang perpus.   
       Well, kita harus berjalan ke arah kanan untuk menemukan masjid, disana kita disuguhi pemandangan yang memikat, danau UI yang hijau ranum dan menyejukkan di bawah panasnya langit kota Depok. Aku mengajak Dhika berhenti sejenak, menghirup udara segar, lumayan buat 'benerin' pundak yang udah hampir mati rasa setelah nenteng carrier 60 liter. Sekian detik setelah menoleh ke kiri tepat di belakang gedung Perpus, aku dan Dhika terbelalak karena bukan masjid yang kita lihat, tapi justru Starbuck Coffe yang terkenal itu, berdiri megah setinggi empat lantai dengan kaca-kaca sebagai unsur utama bangunan itu, yang dengan sengaja dihadapkan ke arah danau yang ranum tadi, lalu di mana masjid? Kami hampir mati kaget, lapar, dan keringetan. Kebetulan, di sebelah Gedung Rektorat UI ada beberapa mas-mas penjaga stand sepeda kuning yang khusus dipinjamkan kepada mahasiswa UI, aku bertanya pada mereka dimana masjidnya, katanya kita hanya perlu belok ke arah kanan di depan Starbuck lalu kita akan tapat berdiri di belakang Masjid MUI.
Tampak depan Masjid UI (MUI) 
         Sesampainya di masjid, aku dan Dhika sebenarnya ingin melemparkan tubuh kita ke lantai karena begitu lelah, sayang lantainya terlalu keras (ya iyalah -_-). Karena tidak tahan Dhika segera mandi dan kususul berikutnya.
***
Orang-orang baik akan bertemu dengan orang baik.
            Mas Mikael menghubungi Dhika lewat Line, dia bertanya dimana posisi Dhika dan aku, Dhika bikang kami ada di masjid, tepatnya di dekat danau. Mas Mikael memberi jawaban yang menggelikan, “Dhika, danau UI itu ada enam, kamu yang sebelah mananya?” Aku tertawa geli dan bertanya-tanya benarkah ada enam danau. Hokya, perjalanan menjacari masjid UI dimulai dari halte bus dekat Fakulas Ilmu Budaya. Ma Mikael orang baik.

***
          Setelah acara mandi di Masjid UI, kerabat lama Dhika yang kuliah di UI menemui kami lalu mengajak makan kami di warung sederhana bertajuk ‘Warung Ngawi’, hennggg, kami jauh-jauh ke Jakarta lalu makan di warung makan Jawa Timur juga, tak apa, hitung-hitung tidak begitu tega pada kantong yang belum begitu mengenal harga daftar makanan di Jakarta.
 Warung Ngawi di Pinggir Kampus UI, Depok
           Aku dan Mas Mikael, itu namanya, makan gado-gado nasi, sedang Dhika tetap setia pada favoritnya, Soto. Karena pesanannya lama datang, aku, Dhika, dan Mas Mikael justru punya kesempatan mengobrol banyak hal, Mas Mikael bagiku orang yang ‘asik-asik lurus’, begini maksudku, dia asik sekali, easy going sekali, tapi kalau diajak bercanda dia lebih banyak meluruskan, tidak sepertiku yang justru lebih banyak kebablasan. Mas Mikael sempat menantang kami untuk mengililingi UI menggunakan sepeda kuning dan jika berhasil kami akan di traktir makan, aku mengiyakan, siapa takut? Segera kutanya saja berapa luas UI memangnya, “350 Hekta, dek.” What? Iya sudah, gempor dulu membayangkannya. Pun pada akhirnya tanpa memenuhi tantangan itu Mas Mikael tetap saja menraktir kami barusan. Orang-orang baik akan bertemu dengan orang baik.
         Acara makan-makan sudah selesai, amunisi kembali penuh, tidak lama kemudian adik kelas Dhika yang juga kulaih di UI datang, namanya Trikurnia Dewi, tapi akrab dipanggil Trikur, di kosnyalah malam nanti kita akan menginap. Trikur, makasiswa kedokteran UI asli madiun ini beda penampilanny sederhana, nggak bakal nyangka kalau dia jenius banget anaknya. Pokonya, Trikur calon dokter yang super duper baik.


Pesan : berterimakasihlah pada bapak ibu kita, karena boleh jadi hari ini orang-orang yang datang menolong kita adalah balasan dari kebaikan mereka :))


© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law