Minggu, 09 Agustus 2015

Budaya Pendidikan Indonesia, Budaya Apa?



Bismilahirrahmaanirrahiim.
            Artikel ini lahir dari pertanyaan menarik salah seorang teman baik kepada saya. Setelah beliau menyelesaikan masa studinya dengan menempuh ujian skripsi, ia menayakan kepada saya, “Riana.. Selain untuk formalitas dan eksistensi dosen, apa guna sidang skripsi?” Saya pun terengah dengan pertanyaan demikian. Saya juga sempat mengiyakan pendapat ini, fikir saya, kalau hanya untuk sekedar mengukur kemampuan mahasiswa, ilmu apa saja yang sudah dikuasai, buku apa yang sudah pernah dibaca, atau sekedar menilai sebaik apa skirpsi yang telah disusun, rasanya tidak perlu menggunakan formalitas sidang. Hal-hal tersebut cukup dilakukan dengan membuat ujian tulis atau mengoreksi isi skirpsi. Titik. Setelah berfikir panjang, saya hanya mendapat satu jawaban. Menurut pendapat pribadi saya yang belum mengalami sidang skripsi, tujuan dari skirpsi itu adalah sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban. Sebagai kaum akademisi, skripsi menjadi maktab penting akan lahirnya ide-ide baru nan segar lagi orisinil. Kemudian ide ini dituangkan dalam bentuk literasi dan di akhir cerita dipresentasikan sebagai bentuk tanggungjawab keorisinilan ide tersebut, pun untuk mengukur sejauh mana kita sudah menguasai isinya.
            Percakapan lewat pesan singkat itu pun saya teruskan dengan berbalik tanya kepada teman saya soal bagaimana tanggapan untuk pendapat saya barusan. Beliau mengatakan bahwa memang seharusnya seperti itu secara ideal, namun kenyataan di lapangan nampak berbeda. Menurut pengalaman yang beliau dapat, dosen lebih cenderung ‘mematahkan’ mahasiswa. Sebagai pribadi yang memang belum berpengalaman, saya hanya mencoba melihat dari sisi baiknya saja. Bahwa mungkin kata ganti terbaiknya bukan mematahkan, namun membentuk mahasiswa yang mampu berfikir kritis. Building a critical thinking. Ya, sekali lagi saya mengambil alibi bahwa kita adalah kaum akademisi.
            Dalam waktu kurang dari satu bulan ini, saya banyak berbincang mengenai ujian skrispi dengan teman-teman senior, ada yang mengaku belum siap melanjutakn pendidikan ke jenjang S2 sebab ada rasa trauma saat menjalani ujian skripsinya. Ada rasa ‘kapok’ tertanam kuat dibenak kawan saya itu sesaat setelah keluar dari ruang sidang yang diuji oleh dosen yang killer, katanya. Kedua, saat saya menunggui senior saya yang lain ujian, senior saya tersebut tidak mampu menutupi dirinya yang gugup dan sedikir menggigil. Hal ini pun cukup mampu membuat saya kecil nyali. Sidang skripsi yang harusnya menjadi tonggak ueforia kegembiraan, justeru menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa.
 Sumber: http://norma07dp.files.wordpress.com/2012/08/skripsi.jpg 
 
            Tapi ada ilmu datang di pagi hari setelah terjadinya percakapan itu, saya membaca pesan di grup WhatsApp komunitas pendidikan yang saya ikuti. Isi pesan itu sebenarnya sudah pernah saya baca di situs Facebook sekitar 5 bulan yang lalu. Tapi saya sedikit lupa dan hanya mengingat intinya saja. Pesan itu ditulis oleh orang kenaamaan, Bapak Renald Kasali.
            Kisah pertama sebagai pembuka dari cerita ini adalah pengalama orang tua yang baru saja pindah ke Amerika dan menyekolahkan anaknya. Di sekolah, anak tersebut diminta untuk membuat karya tulis. Bapak dari anak tersebut merasa khawatir akan tulisan dalam bahasa Inggris yang dibuat oleh anaknya. Namun sekembalinya dari sekolah, sang anak malah mendapat nilai E yang berari Excellent. Karena merasa janggal, beliau mengajukan protes kepada guru yang memberikan nilai bagus pada anaknya.
            Meskipun isinya cukup menampar saya, namun banyak makna baik yang ada dalam pesan tersebut. Nilai-nilai yang ingin saya kaitkan dengan hasil percakapan saya dengan teman tadi cukup gamblang di jelaskan pada artikel inspiratif tersebut, diantaranya;
1.      Budaya menghukum.
            Menurut sang penulis artikel, perbadaan antara pendidikan di Indonesia dan di negeri Paman Sam ini adalah budayanya. Ada nilai filosofi yang kadang dilupakan seorang pendidik di Indonesia. Bahwa mendidik adalah budaya “Encouragement”, budaya mendorong untuk maju. Penulis pun mengalami dua perbedaan yang mencolok bahwa ketika beliau belajar di Indonesia, sangat sulit untuk lulus ujian, sedangkan di Amerika nilainya justeru bergelimang ‘A’. Benang merah dari pengalaman pembuka tadi adalah, kita tidak bijak jika mengukur kemampuan anak anak kita dan prestasi orang lain dengan ukuran milik kita.
            Budaya kedua yang ditampilkan dalam artikel ini cukup menarik, pertanyaan sidang di antara dua negara ini memang secara essensial sama seriusnya. Namun di Amerika, suasananya cenderung bersahabat. “Ujian penuh dengan puja-puji...” kata Bapak Redald dalam artikelnya. Sedang di tanah air, para penguji justeru kebanyakan saling “menelan” mahasiswa yang sedang duduk di bangku ujian. Walhasil, orang yang pernah duduk tertekan dibangku ujian itupun belakang juga menguji dengan cara menekan. Sebab ada semcam balas dendam dan kecurigaan.
2.      Budaya Melahirkan Kehebatan.
Ada pertanyaan nyelekit yang diajukan sang penulis disini, berbunyi “Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan?” Benar saja, dari pengalaman pribadi saya, saya yang saat itu masih belajar di sekolah menengah, mendapat nilai buruk dalam semua mata pelajaran eksak. Matematika saya jeblok. Total. Sejak awal kelas 1, saya sering gagal dalam ujian matematika. Selain karena tidak pandai berhitung, saya tidak tahu apa sebenarnya esensi dari belajar matematika yang hanya menampilkan variabel-variabel? Pembelajaran hanya bersifat metematis tanpa mengedapankan nilai filosofis. Hingga saat menghadapi try-out ujian nasional kelas IX, nilai ‘jemplang’ saya dapatkan yaitu nilai matematika saya hanya ‘4,25’ sedangkan saya mendapat nilai 8 untuk bahasa Indonesia dan 9.5 untuk bahasa Inggris. Saya sempat menangis karena takut gagal ujian nasional sungguhan. Belakangan saya merasa memang saya tidak berbakat di bidang hitung-menghitung, dan justeru cenderung tertarik dalam bidang literasi. Dan kelegowoan ini baru saya dapatkan setelah tiga tahun kuliah di bidang literatur.
            Ketakutan tersebut pernah saya curigai karena kesalahan orang tau kita dalam mendidik. Saat kita kecil, ketika tidak sengaja menangis karena tersandung kerikil misalnya, orang tua lebih sering menyalahkan kodok. Walhasil, kita saat kita sudah bersekolah, kita hanya akan menangisi ‘nilai merah’ dari pada sibuk memerbaiki kesalahan dan kekurangan diri pribadi. Akankah ada yeng hebat dan menjadi besar dengan budaya seperti ini? Terlebih, kita juga tidak asing dengan cara mendidik dengan berbagai ancaman: Awas...; Kalau...; Nanti...: dan tentu saja kata “Tidak Lulus’ dalam ujian bentuk apapun. Temuan terbaru tentang efek ancama ternyata berujung mengerikan, anak-anak yang terlalu sering diancam, volume otaknya akan mengerucut (mengecil), dan sebaliknya. Maka baiknyalah, mari berhenti menaburkan ancaman dan ketakutan pada anak-anak kita.
            Maksud dan tujuan saya menulis artikel ini bukan saya mengagung-agungkan budaya barat dan mengesampingkan budaya negeri sendiri. Secara konsep budaya ketimuran tetap terasa lebih pas untuk dipakai, namun hanya saja kita kadang masih sering lupa dan melupakan. Mari sama-sama berbenah dan mari sama-sama mengingtkan. Oh ya, menurut kalian sebaiknya apa tujuan utama adanya sidang skripsi tersebut? Lantas dosen seperti apa yang patut menguji skripsi kita? Feel free to comment :):)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law