Kamis, 08 September 2016

Tak Lagi Jadi Peran Utama



Saat aku menghitung-hitung kegagalanku sendiri, aku kehilangan arahku untuk mengumpulkan pecahan motivasi. Jalanku terasa buntu saat aku hanya diam mengutuki kelemahanku. Sejuta keinginan yang kupenuhi dengan keraguan itu mondar-mandir di kelopak mataku. Siapa yang menyangka, lulus menjadi sarjana ternyata justeru waktu itu ku sebut jadi beban baru, hidup penuh dengan tuntutan ini itu, menikah, memiliki pekerjaan yang layak, membiayai hidup sendiri, seakan menjadi tolok ukur hidup yang berembel-embel sarjana kini. Saat beberapa keberanianku terkumpul, aku mencoba lemparkan lamaranku di sana-sini. Berharap nasib baik menghampiri. Namun, justeru pekerjaan yang kini ku dapat dan ku geluti bukan yang dengan bayangkan selama ini.
Setelah aku berkeluh soal ini itu, seorang teman baik menawarkan pekerjaan, mengajar di sekolah dasar, mendengar tawaran itu, aku ragu-ragu, “Mampukah aku?” Tidak buru-buru iya ku. Hari pertama mengajar pun masih terasa begitu berat untukku, suara harus selantang adzan dan fisik harus mau berkejar-kejaran. Hari kedua dan ketiga mengajar di sekolah rasanya begitu berat, selain jarak tempuh yang jauh, stamina sudah ku kuras keras-keras pada hari sebelumnya. Hari keempat, suhu tubuhku sedikit naik, tenggorokan gatal, dan punggung terasa nyeri. Aku sungguh takut deman tiba-tiba dan tak bisa bekerja lagi hari ini. Aku putuskan membeli madu*asa dan anta*gin untuk memulihkan tenaga beberapa lagi. Hari ini aku mengajar di kelas baru, belum pernah kuajar sebelumnya, seorang anak mencuri perhatianku. Ia duduk sendirian di bangku siswa yang seharusnya berisi dua siswa itu. Aku masih melanjutkan pelajaranku, karena kelas sudah mulai gaduh meminta permainan ini itu. Tiba-tiba seorang siswaku maju menghampiriku dan dan menunjuk-nunjuk siswa yang kuperhatikan sejak tadi itu, ia mengadukan kepadaku siswa itu memukulinya. Aku pun memutuskan untuk menghampiri. Aku sama sekali masih memperhatikan ciri khusus yang dibawa anak itu. Seorang siswa lagi melontarkan kata yang cukup membuat saya pilu, “Bu, dia emang sering gitu, dia itu anak autis, dia anak inklusi.” Terbelalaklah aku, Tuhan, aku tak siap dengan ini. Ku kira pendidikan inklusi juga harus dilakukan oleh guru-guru yang eksklusif, bukan pembelajar seperti aku. Setelah jam pelajaran usai, wali kelas dari kelas yang baru ku ajar menghampiri, sembari menceritakab banyak hal dan memberi motivasi; sepulang itu aku putuskan membaca beberapa ulasan dan mengunduh vudeo tentang pendidikan inklusi. Jika saja aku memutuskan berhenti kemarin, mungkin aku tak perbah belajar dan tak sebersyukur ini. 
Saat aku mengilas balikkan segala yang kudapat hari ini dengan setiap kegagalan yang aku tangisi, rasanya aku menjadi manusia paling bersalah di muka bumi. Kusimpulkan, hidup penuh dengan kesempatan kedua, meskipun bukan aku lagi yang menjadi pemeran utama. Tapi biarlah aku menjadikan kegagalan hidupku yang menjadikan keinginanku untuk memenangkan kehidupan orang lain. Mengantarkan mereka setidaknya menuju titik dimana harapan mereka untuk menang dalam setiap kehidupan begitu terang bederang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law