Minggu, 31 Mei 2015

Power Rangers Go to Jakarta #1/6


            Sore itu sekitar pukul 4.30 aku tiba di stasiun Malang Kota Baru diantar Hanis, presiden kami di UMengajar, dengan menenteng carrier ukuran 60 liter warna hijau cerah, mengenakan kaus casual hijau lumut dan jilbab yang senada di tambah dengan sandal gunung warna hijau yang senada dengan carrier jadilah sore itu justeru seperti sehijau pagi dimusim semi. Aku tidak pernah segugup ini melakukan perjalanan dengan kereta, hanya saja karena ini perjalanan terjauh pertamaku. Iya. Aku tidak pernah sejauh ini berjalan: Jakarta.
         Dalam kejadian ‘bersejarah’ kali ini lagi-lagi aku ditakdirkan bersama Dhika. Iya, makhluk kece satu ini entah kenapa selalu ditakdirkan bersama ‘ku. Tidak jauh beda, Dhika tidak lebih lebay dari ku karena dia juga membawa carrier warna merah hitam milik sahabat kami di UMengajar, Igo. Daftar barang bawaan kami tidak cukup disitu saja, masih ada satu tas ukuran tanggung bertuliskan ‘USA Ambassy’ yang berisi amunisi perut mulai dari nasi dan sayur untuk makan malam, air mineral ukuran 1600 ml, ciki-ciki, dan yang jelas berbeda dariku dan Dhika adalah dia penyuka keju dan aku penggila coklat, nah, untuk kategori jajanan yang satu ini kami membeli sendiri masing-masing lalu dimasukkan ke dalam tas warna biru donker itu. Oh, masih ada lagi rupanya, ada tas kresek garis-garis warna hitam putih berisi rambutan dari Tulungagung, kotaku. Sebelum boarding (baca: menunjukkan tiket lengkap dengan ktp ke petugas untuk distempel), aku pamitan pada Linggar yang tadi mengantar Dhika, kami berpelukan sekedarnya, lucu, sesegera itu juga aku dan Dhika pamit pada bapak presiden Hanis, jabat tangan kali ini lumayan berat dan lama, karena Hanis sebenarnya tidak tega melepas kami berdua begitu saja untuk pergi sejauh lebih dari 900 km dan belum jelas akan menginap dimana. Tapi aku dan Dhika meyakinkannya bahwa kami adalah perempuan-perempuan jomblo tangguh dan tidak perlu banyak dikhawatirkan. Untuk urusan yang begini-begini, Hanis memang seperti seorang Bapak yang serius berat melepas anak-anaknya. Ah, Hanis.


NB: Lain kali kalo pergi-pergi bawaannya jangan lebay tingkat galaxy kaya gini,

Percakapan Genting

Aku: Ayo gaes ikutan jadi Panitia Kelas Inspirasi Tulungagung!
Ini beberapa jawaban yang saya dapat.
“Apa ini?”
“Dimana ini?”
“Pengen ikuuut.”
Aku: Ayo ikut, aku juga ikut.
“Tapi mau sms mahal,”  dari seorang teman di Thailand.
Jika persyaratannya yang hanya diminta mengirim pesan berupa nama dan e-mail saja dianggap mahal, lalu mengapa masih sibuk mengharap jadi relawan?
Disitu kadang saya merasa sedih.

Latah


Latah adalah keadaan meniru-niru sikap atau kegiatan orang lain.
 
Di Trenggalek, Foto (bukan) Latah
Saya takut sekali sama peristiwa satu ini, saya takut latah menulis setelah melihat teman menulis. Saya latah jatuh cinta hanya karena melihat beberapa teman sudah menghabisi masa lajangnya. Saya takut sekali latah. Tapi demi apapun, saya memang tipe-tipe penulis yang tidak pernah produktif saat tidak galau. Haha, tapi setelah saya pikir-pikir sikap seperti itu hanya akan merugikan saya sendiri. Karena terkesan kaku dan kekakuan akan membuat saya sulit mendapat materi. Kedua, saya merasa tulisan saya yang dulu-dulu justeru kaku, seperti bahasa novel dan cenderung menggurui. Nah, lo. Jangan-jangan itu juga karena latah. Maklum, semester dahulu saya masih sering dan punya banyak waktu untuk baca novel. Sekarang sudah tidak lagi.

Yang terakhir adalah keinginan menggunakan bahasa Inggris di setiap postingan saya. Alasan klasiknya adalah saya pengen konsisten sebagai anak jurusan Sastra Inggris. Kalau mau jujur, kadang latah gitu misal habis selesai perkuliahan yang memang harus ngomong pake bahasa Inggris, sampe kosan sampe ke media sosial juga pake bahasa Inggris. Selebihnya, kadang khilaf. Karena alasan jika menggunakan bahasa Inggris ada banyak yang protes. Pernah sekali, lagi chattingan di grup SMA ada anak lulusan Pare nyeletuk pake bahasa Inggris yang menurut saya Inggris yang terlalu Indonesia, akhirnya kami berdua debat, debatnya pake bahasa Inggris. Yang lain? Mereka marah-marah karena merasa kami salah tempat. Iya, memang benar sih. Salah tempat. Salah banget.
Tapi satu hal yang saya kadang prihatin adalah latah soal info di sosial media. Orang Indonesia kadang nggak sadar sama kelatahannya sendiri. Berebut jadi yang pertama membagi info soal beberapa kabar yang bahkan kebenarannya belum teruji.  Misalnya beras plastik atau gula pasir. Duh kan. Hal kedua nih, yang bener-bener bikin saya prihatin adalah masalah ‘adventuring’. Entah lagi booming setelah film pendakian tahun 2013 itu atau acara televisi tentang adventuring yang lagi hits. Pokoknya itu. Anak-anak di kota saya, di Tulungagung sedang berbondong bondong dan berlarian tentang siapa yang paling duluan mengunjungi tempat-tempat keren yang sedang hits di Tulungagung. Saya sejujurnya bangga soal ini. Tapi ngeliat dari sudut pandang agak jauh, kok ya miris juga yaa. Anak muda di kota saya sedang terlena, senang di mabukkan dengan beberapa hal yang cenderung fatamorgana. Semua mendadak mengaku sebagai ‘traveler’, ‘instagramer’, ‘pendaki’, ‘pecinta alam’, banyaklah yang intinya semua latah.  LATAH. Terus berbondong bondong datang ke tempat wisata baru, sibuk foto sini situ, sibuk nyari angle terbaik. Semua itu mungkin bukan perbuatan dosa. Saya juga sering. Tapi satu hal, kadang ketika kita sibuk memerhatikan ke arah kerumunan yang sama, kita lupa bahwa di belakang ada yang diam-diam mengambil sesuatu dari kita.

Mungkin saja sebentar lagi banyak investor asing yang menanam modal di daerah kita, dan menjadikan penduduk aslinya jadi buruh. Sudah pernah terjadi kan di kecamatan Campurdarat, kecamatan yang kaya akan tambang batu marmernya ini, coba lihat siapa yang kerja jadi penambang kasar? Lalu coba juga telisik siapa yang punya pabrik pengolahannya? Contoh yang lebih sederhana adalah latah soal sampah. Kita sibuk berfoto-foto ria di tempat wisata, tapi buag sampah sembarang. Pertanyaan besarnya tuh gini lo, bukankah yang kita cari di tempat wisata itu pemandangannya? Lalu kenapa justeru sesuatu yang kita cari-cari setelah ketemu di kotori? Contoh kecilnya Telaga Tiga Warna, semua berlomba ambil angle terbaik untuk foto agar rampak nan indah dan menjadikan telaga sebagai background foto. Lah, kenapa justeru dikotori? Harus membangun mindset dari mana buat ngerubah ini semua? Yap, diri sendiri. Cuma itu jawabanya. Wal hasil waktu kesana sama teman-teman, kita bertiga berusaha ngambilin sampahnya. Meski gak sedikit cacian yang kita dapat.
Kotaku, suatu hari aku ingin tetap kembali, maka jangan latah lagi. Saya masih ingin menikmati suasana pedesaan nan asri, bukan yang dipenuhi dengan mal mal besar yang membuat hedon, juga bukan dipenuhi dengan kendaraan dengan plat plat luar kota. Tetaplah ayem tentrem mulyo lan tinoto.

Bawa Kembali Sampahmu


Mencintai berarti memiliki.
Menikmati berarti memiliki.
Memiliki berarti mencintai sekaligus menikmati.
Kesimpulan kesimpulan diatas baru tadi pagi saya temukan di atas bukit Telaga Tiga Warna.
Yap! Tadi siang sahabat ketje saya memberi kejutan datang kerumah tanpa kabar. Sialan, dia sama cowok *mantannya sih* kayak berasa banget gitu saya lagi dikerjain, (gak usah sms Riana dulu deh kalo mau main, dia pasti lagi masak, lagi jelek belum mandi hahaha)
Lagi jerit-jerit kegirangan ngeliat mereka di depan rumah, sayanya baru sadar kalau saya ternyata masih kaya upik abu (cantik sih, dalemnya, cuma lagi ke tutup angus wajan habis goreng tahu), akhirnya mandi sebentar dan haha hehe lagi sama mereka.
Maksa mereka makan siang bentar, hitung-hitung kali ini saya ada temannya makan, kan biasanya sendiri.
Tepat saat adzan dzuhur, kami bertiga pamit Mbah Ibu mau jalan-jalan sebentar, niat awal ke Pantai Mulok tapi karena saya yang gak mau jauh jauh pergi (dari hatimu), akhirnya harus ngelewatin depan rumah mantan dan cuma 15 menit kemudian taraaa.. sampailah kita ke danau Telaga Tiga Warna. Oke, ini tempat semacam bekas galian tambang yang membentuk cekungan-cekungan berisi air warna warni, ada hijau, hitam, dan biru. Namanya juga bekas galian, jadi pasti ada gundukan-gundukan kenangan, duh salah fokus lagi! Gundukan itu berasal dari galian tanah yang jadi keliatan kaya bukit gitu. Nah, pertama kali masuk mood saya seketika berubah karena yang saya lihat pertama adalah sampah, bukan lebay atau sok sih, tapi ini kota saya, ini milik saya juga, kalau suatu hari ada turis asing yang kesini ngeliat ini semua, saya juga harus ikut malu karena tidak bisa menjaga benda milik sendiri. Bukankah mencintai berarti harus merasa memiliki? Dan bukankah kita seharusnya merawat apa yang kita miliki? Sama kaya cinta! Ketika kita mencintai seseorang, pasti kita mau dia sehat, gak gampang sakit, gak kotor, ya gak sob?



Berusaha ngerubah mood dengan cara nawarin Vivid jadi objek foto saya, walaa! Ambil angle tepat di atas danau dengan airnya yang hijau, dari layar kamera saya melihat ada anak kecil melempar botol plastik bekas ke tengah danau dan dibiarkan orang tuanya, saya pengen memaki seketika itu juga. Damn! Apalah esensi datang ke sebuah danau berwarna? Bukankah yang ingin kita nikmati adalah danau dan warnanya? Lalu kenapa justeru benda yang dinikmati dikotori? Jangan ajarkan saya membenci orang-orang di negeri saya sendiri, please!
Oke dari pada mengumpat percuma, akhirnya saya inisiatif memunguti sampah-sampah yang bisa saya jangkau, yihi, ini areanya terjal dan curam coy kan bekas galian. Saya, Masturi, dan Vivid memutuskan untuk pindah tempat saja, dari pada mati bosan karena kebanyakan mengupat. Kita akhirnya tertarik naik ke tebing yang paling tinggi diantara yang lain, ternyata masih ada sampah terutama botol plastik bekas gitu. Kita lanjut memungut botol botol bekas sembari menuruni bukit. Awalnya cuma modal tangan, agak sulit rupanya karena turun bukitnya agak curam dan harus bawa botol botol malang ini. Alhamdulillah akhirnya nemu plastik yang lumayan besar. Dari situ kita makin semangat mungutin plastik bekas, botol bekas, bekas pacar, apalah, pokonya sampah. Setelah terkumpul banyak, kita justeru bingung dimana harus membuang sampahnya, memang, di tempat ini tidak disediakan tempat sampah satu pun. Atau saya yang berlebihan mungkin, wong katanya pemerintah daerah sendiri rupaya belum mengetahui keberadaan tempat ini. So, it’s totally complicated. Pemerintah yang tidak mau tahu atau masyarakat yang apatis. Entahlah. Kembali ke kami bertiga yang sibuk mencari tempat sampah, akhirnya nemu stand warung kecil yang di sampingnya ada gundukan sampah, saya langsung tawarin ke ibunya siapa tahu mau ambil botol bekas ini, paling tidak untuk dijual ke yang lebih mampu mendaur ulang mungkin. Ibunya mengiyakan tawaranku. Sepersekian detik ketika kita bertiga beranjak pergi dan mau memunguti sampah lagi, ibunya teriak dan tanya, “Mbak e penelitian yee? Kok gelem ae njupuki sampah.”  Tanya ibu itu dengan logat khas Tulungagung. Saya sedikit tidak paham sebenarnya, yang tertangkap di kepala saya waktu itu adalah, “O jadi, setiap yang datang melakukan kegiatan sosial itu harus dengan alasan tugas, penelitian, atau semacamnya ya.” Tanpa sadar saya jawab beliau dengan bahasa Indonesia, “Enggak bu.” “Lha kok mau?”, jawab ibunya, “Hehe, biar bersih buuuk..”

Jangan lupa bawa botol air sendiri


Lanjut ke spot lain, sampah masih saja muncul di pandangan. Kita naik turun bukit demi munguti sampah sampah lain, sampai-sampai sendalnya Masturi rusak dan gak bisa dipake lagi. Well, tepat jam1 siang di atas bukut gersang, dia jalan tanpa alas kaki. Haha anak pramuka satu ini emang kadang lucu dan gak jaiman. Suka deh sama idungnya, loh. Udah muter-muter jauh, dan merasa kasian sama Masturi kita beriga mutusin buat balik, di perjalanan turun bukit, ada segerombloan anak muda ngejek kami, kenapa kami mau mungutin sampah, kenapa serepot ini, teriakan justeru bikin kita ketawa, belum lagi yang kita ngeliat sepasang sejoli duduk di pojokan di bawah pohon, ngaps? Pacaran dan nyampah! Vivid bilang, “mereka teganya kelewatan.” Haha
Point besar yang jadi perhatian saya adalah, Tulungagung sedang bergerak maju. Menyamakan diri dengan kota besar di sekitanya seperti Kediri dan Blitar. Bergerak dengan kekhasan potensi wisata alam yang tiada habisnya. Tapi, sejenak jika dipikir lebih luas, Tuluangagung sedang dalam ujian terberatnya. Berada di zona nyaman kadang membuat terlena. Uforia kadang justeru menimbulkan dampak buruk yang nyata. Ayo sama-sama saling mengingatkan, bahwa tugas kita bukan hanya jalan-jalan, nyari tempat yang instagramable, atau teriak bilang cinta Indonesia di sosial media tapi gak melakukan apa-apa. Penullis juga kadang khilaf. Mari saling menjaga dan mengingatkan. Kaya aku dan kamu, iya kamu.. :):)
Terakhir ini sahabat-sahabat ketjeku
Vivid dan Mas Manchung
© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law