Saya tidak tahu apa yang saya
lukan ini benar atau salah. Yang saya tahu hanya, saya harus melakukan ini.
Sejak pertama terpilih di kabinet terbaru saya menjadi
bagian dari sebuah divisi yang saya kira ‘vital’. Divisi ini berada di bawah
naungan Menteri Keorganisasian. Saya dipercaya mengabdi selama satu tahun ke
depan bersama dua sahabat yang kalau dibandingkan cukup berkebalikan. Salah
seorang memiliki pengalaman organisasi nol, sedang seorang lagi aktifis kampus
dengan berbagai organisasi yang ditembus. Saya? Saya mah apa atuh! Pendidikan di sekolah dasar yang saya tempuh di
sekolah “pengalaman organisasi” pun cukup menggambarkan siapa diri saya. Saya
orang yang miskin pengalaman pula.
Kalau banyak orang mengira saya aktifis, sebenarnya
salah! Saya hanya pernah aktif di organisasi intrasekolah, paling banter juga
menjadi ketua osis dan ketua majlis ta’lim semasa sekolah. Kalau toh lagi
dirasa pengalaman menjadi ketua osis itu sudah cukup menjadi modal, salah pula.
Saya adalah ketua osis sekolah pinggiran yang usia sekolahnya saja belum genap
15 tahun. Saya mencari dan terus mencari, sampai menuju masa kuliah saya sempat
mundur dari pendaftaran himpunan mahasiswa jurusan dan tawaran menjadi dewan
mahasiswa fakultas dengan alasan yaitu pribadi ketidakcocokan terhadap iklim
politik fakultas. Lalu, bertemulah saya dengan rumah. Klik di hati. Hehe abaikan.
Awal mula saya menulis curhatan ini adalah solat subuh
pagi ini. Sejenak setelah solat, saya ingat apa niat awal saya di rumah. Di samping keinginan move on,
saya juga ingin belajar rupanya. Belajar menjadi pribadi yang berbeda, lebih
tangguh, dan berjiwa sosial. Itu. Sampai pada titik dimana saya menjadi bagian
penting dari organisasi ini, saya yang kosong terus menuntut diri untuk belajar
benyak hal. Tentang organisasi, tentang pribadi orang lain, tentang pandangan
hidup, sampai tentang jati diri. Terus.
Percayakah kamu akan teori lama ‘bahwa hutan mampu menyibak watak asli seseorang’? Anggap saja
organisasi ini adalah hutan, bayangkan saat kita semua dilepas di alam liar,
dan belantara dimana kamu dituntut untuk bertahan pada alam. Tempat dimana kamu
hanya punya Tuhan untuk bergantung, karena boleh jadi orang-orang disekitarmu
bisa saja mendadak kanibal saat mereka kelaparan. Bukankah urusan manusia hanya
sedekat isi perut dan buang air? Atau jongos dan babu? Tidak ada tuan disini,
teorinya sih begitu. Iya, hutan benar-benar mampu mengungkap watak asli
seseorang. Lihat saja, siapa yang paling santer berjuang dengan takut-takut,
yang munafik, atau yang kanibal sekalian. Yang kamu kira baik belum tentu baik.
Yang kamu kira polos belum tentu juga begitu.
Pesan singkat yang mungkin bisa jadi pedoman untuk
bertahan pada belantara ini. Percayalah pada dirimu sendiri. Lakukanlah semua
hal dengan penuh pertimbangan karena boleh jadi kamu akan menjadi korban
catatan merah di belakang. Kamu harus melakukan semuanya dengan baik, tidak
perlu banyak orang yang tahu meski kamu mungkin terluka, tersandung batu, atau
terjebak ranjau dan harus melepaskan diri sendirian. Bukankah di hutan itu
kadang gelap? Tidak perlu banyak orang yang tahu apa yang sudah kamu kerjakan
kala gelap. Bagi siapa saja yang miskin pengalaman hidup liar seperti ini,
lebih baik jangan mengadu sana sini. Belajarlah dari alam yang tidak pernah
mengadu saat kekeringan atau mengeluh saat hujan tak juga reda. Jangan pula
profokatif tapi munafik. Menyalahkan satu orang, namun justeru datang padanya
kala butuh. Bekerjalah, berbuat baiklah. Kelak saat kita tak lagi ada, entah karena suatu apa, semua akan tahu apa yang sudah kita kerjakan dalam gelam dan saat sendiri.