Wuus! Jegegeg, kita udah duduk terpaksa manis di kursi nomor 20 D dan B. Tepat pukul 16.50 sore kita berdua sudah
duduk di kursi kereta Matarmaja. Sayang, kami harus duduk dengan arah berlawanan dengan
arah laju kereta, but that’s oke let’s enjoy
it firt, begitu pikirku. Sepanjang perjalanan kali ini, aku dan Dhika tak
banyak saling bicara, kami masih lebih banyak mengamati orang-orang yang selama
delapan belas jam kedepan akan bersama kita. Tak lama ada ibu-ibu paruh baya
yang datang dan meminta bantuanku untuk menaikkan barang bawaannya di rak atas
kursi duduk. Ya kali ini ibu-ibu cantik banget, jadi kita dengan senang hati melakukannya. Selesai dan semua kembali hening kecuali suara ban kereta yang lagi saling sapa sama rel kereta.
Sekitar pukul delapan malam perut kami sudah
keroncongan, aku dan Dhika berpandang-pandangan, sebentar, lalu tertawa pecah,
kami sudah tau pikiran masing masing, seolah begitu. Dhika mengeluarkan
Tupperware warna merah muda berisi nasi dan aku menyiapkan lauknya. Kami makan
dengan lahap meski dengan menu sederhana, sambal goreng kentang dan tahu, oseng-oseng
teri dan buncis, makan kali ini terasa jauuuh lebih enak karena kami berdua
makan dalam keadaan yang benar-benar lapar. Selesai makan kami melanjutkan
tidur lagi dan beberapa kali terbangun karena mengabari beberapa teman sudah
dimana kami sejauh itu, termasuk Hanis, Lalank, dan Oki, yang besuk hari akan
menyusul sebagai kloter kedua.
Ini tiga orang terkutuk lagi nyusun rencana buat ngerjain kita berdua. Mereka bilang kalau Hanis lagi pulang ke Kediri dan nggak bisa dihubungi. Kita juga jadi ikutan panik. Siapa nanti yang menghidupi kami selama di Jakarta kalau nggak ada Bos Hans? Okik? Lalank? Sampai malam-malam aku dan Dhika mencoba menghubungi Hanis dan no response. Mungkin mereka juga bosan mendengar kami yang cerewet dan khawatir. Bah.
Jam 10.15 malam kami sampai di Stasiun Madiun.
Pasti tahulah siapa yang paling heboh untuk urusan ini, iyap, Dhika, dia
seketika mengejak turun untuk melihat-lihat stasiun di kota tempat ia
menghabiskan masa SMAnya. Sepuluh menit menikmati besarnya stasiun Kota Madiun
kami bergegas naik ke kerata lagi karena bunyi peluit masinis sudah
mengisyaratkan bahwa kereta akan segera berangkat. Dhika masih belum puas
menceritakan bagian bagian menarik dari Kota Madiun, lalu kami memutuskan untuk
melihat-lihat pemandangan dari board-desk kereta, Dhika bilang kita akan
melihat fly-over Madiun sebentar
lagi. Sepersekian detik sebelum itu terjadi, tibalah tiga petugas yang memarahi
kami karena berada di board-desk, iya, kami memang seharusnya sudah duduk di
bangku nomor sembilan belas itu. Ya sudah, kami manut saja dari pada diturunkan di stasiun terdekat. Muka Dhika
nyinyir sekian meter, lalu pulih kembali ketika dia melihat gugusan lampu dari
balik jendela, dia menujuk ke luar, Dhika bilang itu lapangan besar dan di
sebelahnya adalah sekolah menengah atasnya, aku terkekeh, bukan heran karena
melihat sekolah Dhika yang terkenal luas dan bagusnya, melainkan apa yang
kulihat hanya beberapa titik kuning yang kutahu itu lampu jalan dan selebihnya
adalah gelap, kami tertawa. Selepas itu, beberapa saat kemudian kereta sudah
mulai sepi ditinggal penumpangnya tidur, akupun mencoba tidur.
Stasiun Kota Madiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar