Perjalanan menuju Stasiun Universitas Indonesia
menempuh waktu sekitar 45 menit dengan menaiki Commuter Line. Sesampainya di stasiun UI, aku dan Dhika
berhenti sebentar untuk minum dan menelpon Linggar dan Keluarga Cemara,
keluargaku di Malang. Karena tidak begitu jelas suaranya, acara telpon Cemara
hanya beberapa saat saja. Aku memaksa Dhika segera masuk ke UI karena sudah
tidak betah mencium bau tubuh sendiri, iya sumpah, rasanya baju dan kulit sudah
lengket jadi satu, bau badan sudah menyeruak seperti racun kimia, asam pake banget.
Kami
masuk ke UI lewat pintu samping, lha
dalah, bukan gedung-gedung tinggi menjulang yang kami temui pertama disini,
melainkan hutan UI yang dipenuhi dengan vegetasi tanaman yang usianya terlihat
dari ukuran pohonnya yang tinggi besar. Well, perjalanan mencari masjid di UI
tak semudah yang aku sangka, kami harus berteduh dulu di halte, hingga beberapa
kali bis kuning UI yang tersohor itu lewat menaik dan menurunkan penumpangnya
yang pastinya mereka adalah mahasiswa kampus perjuangan ini. Karena sudah
terlalu lelah, aku putuskan bertanya pada salah seorang yang menunggu bis
kuning lewat di depan halte, aku betanya dimana letak masjid UI. Nggletek, orang ini juga agak
kebingungan, terlihat dari matanya dia tidak tahu dimana masjid pusat UI. Ia
hanya menujukkan padaku dan Dhika yang sedang kebingungan untuk menuju arah
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) , ya sudah, kita mengikuti saja petunjuk
pertama tadi. Melintas di FIB aku seperti melihat rumah (baca Fakultas Sastra
UM), disana banyak makhluk gondrong, mahasiswi yang berpakaian santai masuk
fakultas, ah rindu Fakultas Sastra yang Mboiss.
Sampai di ujung FIB dipertemukanlah
kami kepada pertigaan yang berhasil membuat langkah kami berhenti karena tidak
tahu harus kemana. Aku mengatakan pada Dhika bahwa perasaanku mengatakan kalau
kita harus melanjutkan langkah ke kanan. Seketika kami lanjutkan perjalanan ke
kanan, panas, jauh, barang bawaan yang berat, itu yang setia menemani kami
siang itu. Sampailah kami di sebuah taman yang disitu ada beberapa ibu-ibu yang
dari behasa yang mereka gunakan jelas mereka dari Sunda, Dhika bertanya pada
mereka dimana letak masjid terdekat UI, seperti pintaku, karena ku pikir jika
bertanya dimana masjid UI saja pasti jawabannya akan seperti tadi, got it, kita dapat jawaban dimana letak
tempat yang kita cari itu, tepat di belakang Perpustakaan Pusat UI, ibu-ibu
geulis itu menunjuk-nunjuk bangunan yang atapnya adalah tanah berumput, PerPus
UI.
***
Lima belas menit sebelumnya, aku dan Dhika berjalan tanpa
tahu arah dan sekedar menebak-nebak bangunan yang kenampakannya seperti sebuah
masjid.
***
Tujuh belas menit sebelumny aku dan Dhika sudah
terkekeh-kekeh karena melihat puncak bangunan yang terlihat seperti kubah
masjid, tapi tiba-tiba kepalaku yang panas bertanya, “Hey dik, itu beneran
Masjid? Jangan-jangan itu bukan kubah, tapi penangkal petir, jedheeeng,
henggg.” Dhika langsung memutuskan bertanya pada Ibu-ibu yang sedang menyapu
taman rektorat UI, untuk urusan pengetahuan gedung yang satu ini sudah pasti
kebenarannya sebab kami sering melihat rektorat UI dari berbagai media masa.
Bersambung. Nggak ada photo. Nggak bakal foto disaat bingung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar