Kereta Matarmaja sore itu melaju terus, dia berhasil move on jauh ke Ibu Kota. Tapi ya sumpah, agak buta arah kalau naik keretanya malam hari kaya gini.
Sekitar jam setengah delapan pagi kereta baru
sampai di daerah Cirebon. Disini udah angak muali bisa meihat pemandangan sekitar. Well oke, kereta kita akan telat, jadi semakin lama
sajalah kami duduk di kereta. Pantat rasanya sudah hilang dari peradabannya,
tulang belakang yang biasanya bengkok kini rasanya sudah lurus saja. Aku molet
kanan kiri, kretekkh, itu bunyi yang
cukup melegakan setelah hampir 15 jam duduk di bangku kereta. Jam kedatangan
kereta api Matarmaja seperti yang tertera di tiket kereta adalah jam 9.21 pagi,
well yup, jam sembilan pagi itu kami masih sampai di daerah Bekasi, sekitar
satu setengah jam lagi dari Pasar Senen Jakarta. Bekasi kini adalah sebuah
kota, kubaca dalam koran beberapa waktu lalu, setelah ia memisahkan diri dari
Cikarang, kanan kiri banyak banget gunungan sampah, rumah kumuh, dan
macet parah. Lho, ini padahal belum
Jakarta, kan. Makin penasaran pengen tahu Jakarta itu kaya gimana.
Sekitar jam sepuluh
kami sampai di daerah Jatinegara, kereta Matarmaja melintas di depan LP
Cipinang yang terkenal sebagai lapas artis-artis dan orang-orang terkenal itu.
Aku juga memenndangi papan-papan yang tertera di bahu-bahu jalan, nama tempat-tempat
di Jakarta: Kampung Rambutan, Cikampek, Bojong, Depok, Mampang, dll. Semua
nama-nama itu pernah ku dengar dari acara Televisi, yes, kini bisa kulihat
sendiri, pikirku pendek. Kami turun di Stasiun Pasar Senen Jakarta sekitar
pukul sebelas kurang sedikit. Sepersekian detik keluar dari gerbong kereta yang
dingin karena ber-AC, udara panas Jakarta menyambut kami berdua. Dhika
berteriak girang, “Jakartaaa... yee, my resolution has been completed!” Iya,
Dhika bilang Jakarta masuk dalam daftar resolusinya di tahun 2015 ini.
Aku dan
Dhika tidak lama beriang-riang gembira, kami harus sesegara mungkin mencari
cara untuk sampai ke Depok, Dhika seketika sibuk menelpon Bang Rama, senior
kami di Encompass Indonesia, yang memang tinggal di Jakarta. Oke fix, untuk
sampai di Depok kami harus menaiki commuter
line menuju stasiun Universitas Indonesia, sukses, kita langsung beli dua
tiket commuter line sekaligus. Untuk
menuju peron yang dilintasi commuter line
kita harus turun ke lorong bawah tanah, lalu kemudian naik tangga setinggi
sekitar empat meter. Beban di pundak rasanya bertambah berton-ton. Aku dan Dhika
duduk di pinggir tangga naik kereta yang terbuat dari besi warna kuning di
sepanjang pinggir peron Pasar Senen, wajah sudah lengket basah seperti penggorengan,
tapi semangat tetap membara dibakar hawa panas Jakarta. Beberapa waktu
kemudian, aku dan Dhika menaiki kereta listrik milik pemprov DKI yang memiliki
gerbong khusus wanita ini, alhamdulillah adem, ngantuk berat disini,
lebih-lebih ini belum memasuki jam makan siang atau pulang sekolah, jadi
gerbong belumlah begitu penuh. Di dalam gerbong commuter, aku seperti hidup di antara dua dunia, bagaimana tidak?
Di dalam commuter ini suasananya
nyaman, kursi empuk, ruangan bersih, dan dingin ber-AC, tapi di luar sana sepanjang
jalan justeru yang terlihat begitu dekat adalah gunungan sampah, sungai yang
airnya diam menggenang tak bergerak, lalu di ujung-ujung agak jauh sana
gedung-gedung tinggi menjulang. Aku tidak mimpi rupanya, ini benar-benar
Jakarta.
Perjalanan kami menuju Stasiun Universitas Indonesia menempuh waktu
sekitar 45 menit. Commuter line ini emang nyaman banget buat penumpangnya. Khusus perempuan, ada gerbongnya sendiri. Tapi ya yang namanya ndeso emang udah kelewat lengket di daging, aku sama Dhika ambil foto sana sini udah nggak perlu peduli sama wajah yang udah kaya bekas gorengan telur ceplok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar