Senin, 01 Juni 2015

Power Rangers Go To Jakarta #3/6

          Kereta Matarmaja sore itu melaju terus, dia berhasil move on jauh ke Ibu Kota. Tapi ya sumpah, agak buta arah kalau naik keretanya malam hari kaya gini. 

        Sekitar jam setengah delapan pagi kereta baru sampai di daerah Cirebon. Disini udah angak muali bisa meihat pemandangan sekitar. Well oke, kereta kita akan telat, jadi semakin lama sajalah kami duduk di kereta. Pantat rasanya sudah hilang dari peradabannya, tulang belakang yang biasanya bengkok kini rasanya sudah lurus saja. Aku molet kanan kiri, kretekkh, itu bunyi yang cukup melegakan setelah hampir 15 jam duduk di bangku kereta. Jam kedatangan kereta api Matarmaja seperti yang tertera di tiket kereta adalah jam 9.21 pagi, well yup, jam sembilan pagi itu kami masih sampai di daerah Bekasi, sekitar satu setengah jam lagi dari Pasar Senen Jakarta. Bekasi kini adalah sebuah kota, kubaca dalam koran beberapa waktu lalu, setelah ia memisahkan diri dari Cikarang, kanan kiri banyak banget gunungan sampah, rumah kumuh, dan macet parah. Lho, ini padahal belum Jakarta, kan. Makin penasaran pengen tahu Jakarta itu kaya gimana.

         Sekitar jam sepuluh kami sampai di daerah Jatinegara, kereta Matarmaja melintas di depan LP Cipinang yang terkenal sebagai lapas artis-artis dan orang-orang terkenal itu. Aku juga memenndangi papan-papan yang tertera di bahu-bahu jalan, nama tempat-tempat di Jakarta: Kampung Rambutan, Cikampek, Bojong, Depok, Mampang, dll. Semua nama-nama itu pernah ku dengar dari acara Televisi, yes, kini bisa kulihat sendiri, pikirku pendek. Kami turun di Stasiun Pasar Senen Jakarta sekitar pukul sebelas kurang sedikit. Sepersekian detik keluar dari gerbong kereta yang dingin karena ber-AC, udara panas Jakarta menyambut kami berdua. Dhika berteriak girang, “Jakartaaa... yee, my resolution has been completed!” Iya, Dhika bilang Jakarta masuk dalam daftar resolusinya di tahun 2015 ini.

       Aku dan Dhika tidak lama beriang-riang gembira, kami harus sesegara mungkin mencari cara untuk sampai ke Depok, Dhika seketika sibuk menelpon Bang Rama, senior kami di Encompass Indonesia, yang memang tinggal di Jakarta. Oke fix, untuk sampai di Depok kami harus menaiki commuter line menuju stasiun Universitas Indonesia, sukses, kita langsung beli dua tiket commuter line sekaligus. Untuk menuju peron yang dilintasi commuter line kita harus turun ke lorong bawah tanah, lalu kemudian naik tangga setinggi sekitar empat meter. Beban di pundak rasanya bertambah berton-ton. Aku dan Dhika duduk di pinggir tangga naik kereta yang terbuat dari besi warna kuning di sepanjang pinggir peron Pasar Senen, wajah sudah lengket basah seperti penggorengan, tapi semangat tetap membara dibakar hawa panas Jakarta. Beberapa waktu kemudian, aku dan Dhika menaiki kereta listrik milik pemprov DKI yang memiliki gerbong khusus wanita ini, alhamdulillah adem, ngantuk berat disini, lebih-lebih ini belum memasuki jam makan siang atau pulang sekolah, jadi gerbong belumlah begitu penuh. Di dalam gerbong commuter, aku seperti hidup di antara dua dunia, bagaimana tidak? Di dalam commuter ini suasananya nyaman, kursi empuk, ruangan bersih, dan dingin ber-AC, tapi di luar sana sepanjang jalan justeru yang terlihat begitu dekat adalah gunungan sampah, sungai yang airnya diam menggenang tak bergerak, lalu di ujung-ujung agak jauh sana gedung-gedung tinggi menjulang. Aku tidak mimpi rupanya, ini benar-benar Jakarta.
       Perjalanan kami menuju Stasiun Universitas Indonesia menempuh waktu sekitar 45 menit. Commuter line ini emang nyaman banget buat penumpangnya. Khusus perempuan, ada gerbongnya sendiri. Tapi ya yang namanya ndeso emang udah kelewat lengket di daging, aku sama Dhika ambil foto sana sini udah nggak perlu peduli sama wajah yang udah kaya bekas gorengan telur ceplok.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© Kolase Random | Blogger Template by Enny Law